Katakanlah : Salamun'alaikum bima shabartum, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS. Ar-Ra'd : 34)
Menemukan kalimat itu dalam Al'Quran membuatku tergugu. Tersadar akan sebuah keniscayaan yang nyaris pupus kuresapi. Ya, keniscayaan akan janjiNYA. Sampai di sini aku memutuskan untuk berhenti memikirkan yang tidak perlu, memikirkan kebahagiaan diri sendiri yang pada dasarnya adalah wujud keegoan tak bertepi dan gambaran keterpercaan pilah-pilah ambisi duniawi.
Rabbi...bukankah Engkau tidak pernah mengingkari janji selama aku berpegangan erat padaMU. Maka bila melonggar genggam eratku, eratkanlah kembali. Satu hal yang terlupakan bahwa bahagia berarti bisa bermanfaat bagi orang lain. Ah, bukankah ketika memutuskan menjadi muslimah seutuhnya, azzam itu tlah terpatri. Maka jangan sampai ia terlepas hanya karena jalanan yang licin dan membuat tergelincir. Lelah...pastilah ada, sebab itu konsekuensi memilih jalan mendaki. Luka...kemungkinan yang wajar sebab berjalan di antara duri. Sepi...kadangkala ada, sebab adakalanya jalanan harus dilalui sendiri. Layu....pun sesuatu yang wajar bila dehidrasi setelah mengitari jalan panjang tak bertepi. Tapi begitulah jalan yang kupilih, bukan jalan raya yang penuh lampu-lampu taman, tapi jalan sukar, berduri dan mendaki. Tapi kuyakin di ujung sana: surga menanti. Rabbi, sampaikan aku ke sana menemuiMU.
Aku tahu Engkau saja yang berdaulat atas semesta, maka padaMU aku meminta kokohkanlah langkah ini. Izinkan hati yang lapang membentang maaf, menjadi milikku. Izinkan samudera Qalbu yang luas menjadi milikku tuk hadapi segenap tantangan, uji dan coba. Aku percaya... Engkau tidak akan memberi kesulitan lebih dari yang ku mampu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar