Perjalanan ini, terasa sangat melelahkan, demikian sepotong syair Ebiet.G.Ade. Tapi buatku, seperti biasa perjalanan ini tetap harus dilalui. Menjadi rutinitas harian ketika harus bangun sebelum subuh, lalu berkejaran dengan jarum jam dinding di dapur untuk menyiapkan sarapan (sekaligus makan siang), beres-beres rumah, menyiapkan pakaian, mandi dan kemudian bergegas untuk segera berangkat mengajar tepat pukul 06.30.
Empat belas kilometer dari rumah ke sekolah mungkin bukan hal yang berat jika jalan yang ditempuh adalah jalan tol bebas hambatan yang lurus mulus. Tapi jika jalanan itu adalah jalan desa penuh kerikil dan lubang di sepanjang jalur, maka empat belas kilometer adalah empat puluh lima menit yang menyakitkan, apalagi dalam tiga bulan pertama buat ibu hamil sepertiku. Dua puluh empat jam mengajar di sekolah dalam sepekan benar-benar menjadi beban sebab hanya akulah satu-satunya guru IPA di sekolah. maka jika aku libur, siapa yang akan menggantikan? Barangkali sekarang adalah pilihan yang langka untuk memilih menjadi guru di tempat yang tanggung seperti sekolahku. Hampir-hampir aku tidak sanggup melaluinya. Tapi, bertimbun kemudian kesyukuranku sebab segalanya dipermudah. Thanks GOD. Ada saja jalan untuk menjadikannya terasa mudah meski juga selalu ada saja komentator-komentator yang membuat pedas telinga, entah itu datang dari rekan-rekan sejawat, entah dari tetangga, bahkan juga dari saudara. Tapi kurasa lebih baik menyikapinya dengan biasa. Mendengarkan yang tidak perlu, kemudian membuangnya ke tong sampah. Mendengarkan yang baik kemudian menyimpannya sebagai pesan yang berharga. Asalkan tidak membuat mereka merasa tak berharga. Seringkali kita membutuhkan waktu untuk membuktikan dan bukan sekedar menanggapi dengan kata-kata, sebab lebih banyak penonton yang pandai berkomentar ketimbang pemain yang berusaha memenangkan sebuah perlombaan. Maka wajarlah bila lebih banyak orang tanpa sadar memilih menjadi komentator.