Tidak banyak kejadian seperti itu, ketika engkau bertemu dengan orang-orang yang sama dalam hidupmu. Tetapi kejadian itu ada. Tidak selalu menyisakan perih, justru kadang membuatmu banyak bersyukur, justru kadang membuatmu tertawa, menertawakan sepenggal perjalanan hidup yang konyol. Dan di situlah justru nilainya. Belajar dari kekonyolan yang akan membuatmu tumbuh dewasa.
Sungguh tidak banyak kejadian seperti itu, ketika engkau bertemu dengan sejumlah orang yang memiliki urusan yang serupa denganmu suatu saat dalam kehidupannya. Entah itu menjadi bagian masa lalunya, atau engkau sendiri yang mengalami kejadian itu di masa kini, atau justru kalian memiliki masa lalu yang sama dalam kurun waktu yang berbeda. Sekilas memang tampak plantonik di sini. Sebagian bersinergi dengan dengan melankolis. Tapi cobalah lihat: ternyata ada kesaman watak dari orang-orang yang kalian temui. Seperti juga kesamaan sifat yang kalian miliki. Barangkali karena sifat yang ada dalam diri kalian itu mengundang orang-orang yang sama bertendensi. Ah, sekilas memang terlihat rumit dan tak hendak dipelajari, karena begitu dikuak sedikit, terbukalah seluruh rumus kerumitan itu, yakni bahwa engkau memiliki kesamaan takdir meski tidak melulu berujung sama.
Takdir, sungguh tak bisa dianalisis dengan metode hereditas apapun, atau juga tak bisa diungkap oleh teori metafisika yang paling mumpuni sekalipun. Bahkan justru mendekatkanmu pada kekafiran jika ilmu-ilmu itu tidak selaras dengan iman. Itu sebabnya Allah mengingatkan manusia akan keterbatasan ilmunya sekalipun menembus tujuh lapis langit tak kan mampu menguak ilmuNYA dengan utuh.
Pada suatu kesempatan Rasulullah bersabda: “Jiwa-jiwa itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Bagi yang saling mengenal di antara mereka pasti akan saling bertemu dan menyatu. Dan bagi yang tidak saling mengenal di antara mereka pasti akan saling menjauh dan terpisah”.
Dan begitulah memang nyatanya tabiat jiwa. Memiliki kecenderungan untuk mengenali yang sama hajatnya, yang sesuai sifatnya, yang mencukupi kebutuhan jiwanya. Makanya tidak banyak yang disebut sahabat dekat apalagi saudara. Sebab keterikatan itu pada fitrahnya memang begitu.
Tapi juga tak cukup sampai di situ. Persaudaraan itu dalam tingkat terendahnya adalah berbaik sangka kepada saudaranya. Di sini tidak berlaku praduga beraroma nafsu, tidak juga iri dengki apalagi dendam. Yang berlaku hanyalah khusnudzon dan selalu demikian. Sementara dalam tingkat tertingginya adalah itsar, mendahulukan saudara di atas kepentingan sendiri. Dan di sini semua sakit hati pupus lenyap dicover ridho. Selesailah semua masalah. Tidak ada kedongkolan. Tak mudah memang. Selalu ada ganjalan bernama luka jika tak segera diawasi oleh iman yang luar biasa. Iman yang senantiasa memenangkan Allah di atas segalanya. Bahkan seluruh yang melekat pada tubuhmu, juga seluruh yang kau punya bahkan nyawamu. Sebab itu saja sebenarnya milikmu. Ketika engkau kembali kepadaNYA, sebagaimana engkau lahir dulu, sama-sama tak berbusana kecuali selembar kafan yang itu pun hutang dari kepedulian saudara-saudaramu mengurus jasadmu. Itulah akhir bekal kita di dunia. Setelah itu… setelah itu… pernahkah terpikir oleh kita, bagaimana kita menghadapi pengadilanNYA.
Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang sayapnya patah, barangkali ia sedang lupa bahwa kelak ia akan kembali kepada Sang Pencipta, tempat bermuaranya segala urusan.
Sungguh tidak banyak kejadian seperti itu, ketika engkau bertemu dengan sejumlah orang yang memiliki urusan yang serupa denganmu suatu saat dalam kehidupannya. Entah itu menjadi bagian masa lalunya, atau engkau sendiri yang mengalami kejadian itu di masa kini, atau justru kalian memiliki masa lalu yang sama dalam kurun waktu yang berbeda. Sekilas memang tampak plantonik di sini. Sebagian bersinergi dengan dengan melankolis. Tapi cobalah lihat: ternyata ada kesaman watak dari orang-orang yang kalian temui. Seperti juga kesamaan sifat yang kalian miliki. Barangkali karena sifat yang ada dalam diri kalian itu mengundang orang-orang yang sama bertendensi. Ah, sekilas memang terlihat rumit dan tak hendak dipelajari, karena begitu dikuak sedikit, terbukalah seluruh rumus kerumitan itu, yakni bahwa engkau memiliki kesamaan takdir meski tidak melulu berujung sama.
Takdir, sungguh tak bisa dianalisis dengan metode hereditas apapun, atau juga tak bisa diungkap oleh teori metafisika yang paling mumpuni sekalipun. Bahkan justru mendekatkanmu pada kekafiran jika ilmu-ilmu itu tidak selaras dengan iman. Itu sebabnya Allah mengingatkan manusia akan keterbatasan ilmunya sekalipun menembus tujuh lapis langit tak kan mampu menguak ilmuNYA dengan utuh.
Pada suatu kesempatan Rasulullah bersabda: “Jiwa-jiwa itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Bagi yang saling mengenal di antara mereka pasti akan saling bertemu dan menyatu. Dan bagi yang tidak saling mengenal di antara mereka pasti akan saling menjauh dan terpisah”.
Dan begitulah memang nyatanya tabiat jiwa. Memiliki kecenderungan untuk mengenali yang sama hajatnya, yang sesuai sifatnya, yang mencukupi kebutuhan jiwanya. Makanya tidak banyak yang disebut sahabat dekat apalagi saudara. Sebab keterikatan itu pada fitrahnya memang begitu.
Tapi juga tak cukup sampai di situ. Persaudaraan itu dalam tingkat terendahnya adalah berbaik sangka kepada saudaranya. Di sini tidak berlaku praduga beraroma nafsu, tidak juga iri dengki apalagi dendam. Yang berlaku hanyalah khusnudzon dan selalu demikian. Sementara dalam tingkat tertingginya adalah itsar, mendahulukan saudara di atas kepentingan sendiri. Dan di sini semua sakit hati pupus lenyap dicover ridho. Selesailah semua masalah. Tidak ada kedongkolan. Tak mudah memang. Selalu ada ganjalan bernama luka jika tak segera diawasi oleh iman yang luar biasa. Iman yang senantiasa memenangkan Allah di atas segalanya. Bahkan seluruh yang melekat pada tubuhmu, juga seluruh yang kau punya bahkan nyawamu. Sebab itu saja sebenarnya milikmu. Ketika engkau kembali kepadaNYA, sebagaimana engkau lahir dulu, sama-sama tak berbusana kecuali selembar kafan yang itu pun hutang dari kepedulian saudara-saudaramu mengurus jasadmu. Itulah akhir bekal kita di dunia. Setelah itu… setelah itu… pernahkah terpikir oleh kita, bagaimana kita menghadapi pengadilanNYA.
Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang sayapnya patah, barangkali ia sedang lupa bahwa kelak ia akan kembali kepada Sang Pencipta, tempat bermuaranya segala urusan.