Seperti biasa.
langkahmu kerap kali lunglai mengawali hari, lalu kau ingat beribukali zikir tadi pagi. Jangan sampai nikmat Qiyamullail pupus begitu saja saat keenggananmu berangkat kerja mengguncang dada. Susah payah kau lukis rona pelangi pada wajahmu. Kadang kau berceletuk
"Lha, pelangi kan meniskus : melengkungnya ke atas. Kalau senyum harus melengkung ke bawah. Mana bisa disamakan".
Dan sekali lagi kau menghela nafas. Tak tega semburatkan keluh pada tatapan ibu yang setia mengantarmu dengan senyuman. Atau juga betapa kau tak rela menggores pedih pada harapan ayah. Meski hatimu masih saja berangan tentang hari-hari indah nun jauh di sana, bukan di sini. Tak mengapa, katamu. Bukankah ridhomu menjalani hari-hari ini adalah bakti buat mereka, ayah bundamu. Dan bahagiamu adalah bila mereka bahagia.
Sepanjang jalan kau bernyanyi. Lagu apa saja. Mulai dari balonku ada lima sampai Indonesia raya. Bila kau sudah sangat muak pada ritme hidupmu. saat ditanya kau hanya menggelitik jawab : nasionalis, cinta negeri. Kau sebut itu futur. Sebab kau tahu dirimu lebih suka memurajaah satu dua ayat hafalan Al Qur'an, atau sekedar mendendangkan syair-sair nasyid pelepas lelah.
"Sahabat...duniaku kini tiada ceria. Hilang entah kemana. detik-detik yang kulalui penuh duri..." dan suaramu lenyap bersama angin lantas terlupakan begitu saja. Selanjutnya kau hanya menangis, mengenang lembaran-lembaran indah di masa lalu saat semangat masih membara.
Ya, kau cukup sadar diri. Kau hanya sebatang ranting yang tersembunyi di antara rimbun dedaunan di hutan. Meski citamu masih saja menggelitik langkahmu untuk menggoreskan meski hanya segores titah di pasir pada pantai yang landai, sekedar mengucapkan salam yang indah pada dunia yang haus keramahan.
Setiap kali menatap laut kau berharap bisa arungi luasnya, agar luasnya juga menularkan luas pada jiwamu. Agar meretas ikhlas menyingkap harimu. Agar yang semu pupus saja sudah berganti nyata. Bahwa kau nyata bahagia dengan semua. Kau tergetar saat membahas rukun iman di hadapan anak-anak yang masih buta agama, hujan kian deras menerpa wajahmu. Sudahkah kau juga tuntaskan keimanan, bahwa kau percaya pada Tuhan yang menguasai segala hingga semestinya kau ridha...ridha...dan tak kan membekas aluka apapun pada hatimu saat duri-duri menusuk hati. Bahwa semestinya kau tak perlu kecewa bila takdir kadangkala tak seperti harapmu. Bukankah segalanya adalah kuasaNya.
Laa tahqof walaa tahzan. Kau hapus airmatamu. Mencoba membagi riang pada mereka yang setia menantimu setiap hari meski kadangkala saat kau tiba, pakaiamu berlumur lumpur sebab jalanan becek yang kau lewati. Lupakanlah sejenak mimpimu tuk menapak bagian bumi yang lain yang kau rindukan. Tahukah kau bahwa keberkahanNya tergantung pada kesungguhanmu menggoreskan ikhtiar.
Maka bertahanlah. Setialah bangun sebelum mentari menyapa kokok ayam agar kau bisa bercengkerama denganNya lebih lama hingga kau selalu merasa ada DIA yang setia menemanimu, menjagamu dan menuntunmu. Saat gerimis pagi ini meneteskan bait-bait doa, membumi bersam air, lalu mengangkasa bersama angin. Pintamu buncah dalam lamat-lamat zikir, menyangga harapmu yang patah. Mengeja takdir yang katanya bisa diubah dengan doa. saat keningmu menyentuh sajadah dan jiwa melangit indah. Pada larik-larik gerimis terbaca: Aku memintanya Tuhan. Dhuha terasa indah sekali kali ini dalam nafasmu. Kau lanjutkan melangkah. Apa kabar, hari ini???