Mencoba memaknai hari-hari

Jumat, 01 Februari 2008

Just Because of YOU


Betapa kemusliman kita adalah sebuah karunia yang tidak ternilai harganya. Dengan kemusliman itu…kasih sayang Allah melimpah ruah tanpa henti. Semakin kita syukuri, dan semakin kita renungi, maka karunia Allah akan semakin bertambah. Kasih sayang-Nya pun semakin menjadi-jadi, mengalahkan apa saja yang ada di bumi. Mengalahkan apa saja yang membungakan hati. Dan di antara kasih sayang-Nya itu adalah ketika Allah jadikan Ramadhan sebagai salah satu bulan istimewa yang membukakan pintu-pintu surga, dimana kita bisa masuk dari salah satu pintu atau bahkan dari semua pintu tatkala kita berhasil menjadi pemenang pada bulan ini.
Satu hal yang kerap kali terlupakan adalah…ketika kita terlalaikan untuk menghadap-Nya dengan utuh. Kalau kita cermati dengan jujur, kemalasan yang kadang timbul, atau melemahnya iman kita adalah karena kita salah meletakkan arah tujuan kita. Kita kehilangan peta. Kita lupa jalan hidup, alias kita melakukan aktivitas amal ibadah kita ‘not just because of YOU’ but maybe…’just because of you (you disini bisa macam-macam maknanya, tergantung faktor pemicunya, bisa jadi you-nya adalah si handsome or si beautiful, bisa jadi you-nya adalah ketenaran, bisa jadi juga keegoisan). Masya Allah…lagi-lagi pembahasannya terkait keikhlasan. Semestinya tidak ada satu penyebab pun yang membuat kita berada di jalan dakwah ini kecuali ALLAH. Hingga mulai dari kita meniatkan sesuatu, kemudian menjaga kemurnian niat itu dalam perjalanannya hingga pada akhirnya tercapainya niatan itu, bukan karena apa-apa dan bukan pula karena siapa-siapa, bukan bergantung pada kondisi apapun atau atas perintah siapapun, bukan terpengaruh oleh ajakan si anu atau ada si anu dalam barisan kita…melainkan ‘just because of YOU”.
Sederhana saja. Tapi bakal menjadi ledakan yang luar biasa hebatnya tatkala kita menyandarkan segalanya kepada ALLAH SWT. Seperti yang difirmankan ALLAH dalam QS. Al Ikhlas ayat 1-4 “Katakanlah, Allah Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tidak seorangpun yang serupa dengan-Nya”. Tidak akan ada satu hal pun di dunia ini yang mampu mengalahkan ALLAH. Persoalannya adalah apakah kita BENAR-BENAR telah mempercayai-NYA sebagai tempat bergantung, tempat bersandar, tempat meminta, tempat mengadu, tempat utama tuk disembah dan dituju?
Salah satu indikasi kesempurnaan iman seseorang adalah ‘istiqomah’. Dan Istiqomah tidak akan pernah teraih tanpa kebergantungan yang utuh pada-Nya. Menjadikan-Nya sebagai satu-satunya ‘Illah’…hingga tidak ada satu goncangan apa pun yang mampu menyurutkan langkah. Tidak ‘perkataan makhluk’, tidak ‘fitnah’ tidak ‘caci maki’ tidak pula ‘keletihan, luka dan air mata’ yang mampu memutuskan tali kebergantungan kepada Allah. So…siapkah kita menyerahkan seluruh diri, cinta dan hati hanya pada-Nya??? Selanjutnya mempercayai-Nya sebagai YANG MAHA ESA??? Yang selalu kta taati dan tidak pernah kita duakan dalam bentuk apa pun??? (Rieve)






SUDAH SAATNYA MERDEKA

Dalam deras pertanyaan yang terus menghujam saat menuliskan kalimat-kalimat ini, saya mencoba untuk mengembalikan segalanya kepada Sang Pemilik Jawaban yang senantiasa menjawab dengan sempurna tak semata pertanyaan, tetapi juga kegamangan, kerisauan, keragu-raguan dan ketidaktentraman dengan jawaban indah, “Dan katakanlah, “Ya Tuhan ku, berilah ampun dan berilah rahmat, dan engkau adalah pemberi rahmatyang baik”, (QS. Al-Mukminun: 118)
Setiap manusia, setiap saat senantiasa menambah deretan waktu serupa angka yang menandakan pertambahan usianya sekaligus mengurangi jatah kehidupannya. Rangkaian waktu yang semestinya menambah kedewasaannya. Tapi soal makna kemerdekaan yang diserap, belum tentu sebanyak usianya itu. Orang yang memiliki usia lebih tua belum tentu memiliki kepahaman yang lebih dalam akan makna kehormatan diri, kebebasan yang diberikan Allah sejak kita dilahirkan ke dunia ini sebagai bentuk karunia sang Pencipta. Meski sebagai manusia terpelajar kita mengetahui bahwa daya akal dan nalar kita ada, tetapi seringkali kita terperangkap fenomena duniawai yang memerangkap kita.
Betapa banyak di antara kita kerap kali terpedaya dengan suguhan media yang mengkebiri fitrah manusiawi sebagai hamba Allah yang hanif. Terpedaya oleh pemikiran sekuler yang berbaju agamis. Terpedaya oleh hawa nafsu yang mengaburkan segenap pemahaman, hingga hijab-Nya tak kunjung tersingkap. Senantiasa bertambah tebal karena deretan keluh, segudang alasan dan keengganan memproses diri menjadi lebih baik dengan azam kesungguhan yang utuh tak berpoles kata dan tak berlapis kemolekan diri hingga tega menghujani saudaranya yang lain dengan kealfaan demi kealfaan diri.
Cobalah tanyakan pada setiap orang yang kita temui tentang apa arti kemerdekaan? Atau lebih sederhana lagi apakah kita sudah merdeka? Beragam jawabannya. Meski 61 tahun yang lalu kita telah memproklamirkan kemerdekaan negeri ini, tapi ternyata kemerdekaan hakiki tak kunjung kita miliki. Kemiskinan yang merebak di mana-mana, ditambah dengan banyaknya bencana alam yang menambah angka kemiskinan itu, toh selama ini hanya kita maknai dengan pernyataan, “Negeri kita tengah dilanda bencana sebagai ujian dari Allah”. Mengapa tak kita lanjutkan pemaknaan itu dengan mengkaji bencana-bencana itu lebih arif, semisal bertanya pada diri sendiri, “mengapa bencana itu tak membuat diri tersadar akan keMahaKuasaan Allah?”.
Saudaraku, mari beranjak dari ketekungkungan ini dengan memerdekakan diri sendiri dengan benar untuk selanjutnya kita sampaikan pada orang-orang di sekitar kita. Bahwa seperti kata Ali Bin Abu Thalib Radiyallahu’anh, “Barangsiapa yang dapat mengendalikan hawa nafsunya, maka ia bebas dan merdeka”. Hawa nafsu adalah adalah penjara dengan belenggunya yang berselimut kebebasan, karena ia tak pernah membimbing kita kepada kebaikan, melainkan keterkungkungan yang berakhir pada kehancuran.
Kemerdekaan bukan berarti pula merasa bahwa kita lah yang paling baik lantas mendominasi semua orang, yang selanjutnya justru membuat kita tak menghargai “teriakan” orang lain kepada kita agar kita sedikit membatasi gerak yang kadang kelewat batas. Mentang-mentang kita memiliki kelebihan di banyak bidang, kita lantas mengabaikan pendapat orang-orang yang juga ingin mencicipi indahnya beramal. Karena itu, menghargai perbedaan dan bertoleransi kepada orang adalah penghargaan kita kepada kemerdekaan itu sendiri supaya kita dapat hidup sebagai saudara.
Kemerdekaan adalah juga membangun masyarakat dan melawan kejumudan. Hal ini dicontohkan Rasulullah dalam kepemimpinan beliau yang mampu menciptakan iklim kebebasn di mana seluruh masyarakat bebas untuk berbicara, tidak ada perbedaan antara orang lemah dan kuat di mata hukum dan segala diskriminasi lain. Berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah dengan bahasa yang santun adalah aplikasinya yang kemudian terekspresikan dalam akhlakul karimah yang memukau. Tentunya tak berparas kemunafikan diri melainkan berbalut keikhlasan hakiki.
Kemerdekaan adalah juga memahami batas-batas perilaku. Manusia yang berakal semestinya tidak pernah mengimpikan kebebasan mutlak tanpa batas dan tanpa ikatan karena kebebasan mutlak itu hanya ada di akhirat, bukan di dunia. Kalau kemerdekaan dan kebebasan hanya sekedar dimaknai dengan bebas berekspresi “umbar aurat” (maaf) dengan alasan seni, maka sebenarnya ia tengah merendahkan diri sendiri di tengah balutan intelektualitas dan peradaban modern. Ketika kita mampu mengenal batas-batas perilaku dan mampu mengendalikan diri untuk mematuhi batasan-batasan itu maka tercermin bahwa kita adalah manusia yang mengerti atturan hidup, berilmu, berperadaban dan pantas hidup di zaman yang berteknologi maju, bukan di zaman batu yang seba gelap, penuh intimidasi dan kebobrokan moral.
Maka, kebebasan adalah juga berarti Berprestasi sebanyak-banyaknya di hadapan Allah saja. Tanyakan pada diri sendiri, mengapa kita terperangkap pada keinginan menderu untuk mengikuti trend, mode, figuritas, dan takut dituduh ketinggalan zaman. Mengapa tak coba kita paparkan bahwa sesungguhnya Allah telah memerdekakan diri kita untuk menjadi pribadi mulia dengan amalan-amalan terbaik kita? Begitu banyak potensi yang dititipkan pada diri kita, setiap kita memiliki potensi yang berbeda dengan keunggulan masing-masing. Tetapi begitu dangkal kesyukuran kita. Sekedar berujar pada bibir tanpa penghayatan apalagi perwujudan berupa prestasi iman di hadapan-Nya. Sesungguhnya pada apa pun posisi kita, akan bisa mehairkan prestasi terbaik dengan berperan maksimal. Mencurahkan segenap pikiran, hati dan tenaga dengan hanya mengharapkan keridhoan-Nya.
Saudaraku…betapa masih banyak makna kemerdekaan itu yang semuanya hanya kan melafazkan puji-pujian untuk Allah tatkala kita renungi keindahannya. Tetapi semua itu hanya jika kita memiliki pandangan yang baik dan benar pada agama Allah ini, mengikuti aturan dan petunjuk-Nya yang lurus. Semoga tertiti “sirathal mustaqiem” dengan kemudahan da keindahan melaluinya hingga pantaslah kita menjejak jannah-Nya. Sebab “janji Allah nyata dan pasti”. (FH)

MENDIDIK; TIDAK SEKEDAR TRANSFORMASI ILMU

PENDIDIK; TIDAK SEKEDAR TRANSFORMASI ILMU
Oleh : Rivana Usgianti, S.Si

Tulisan ini didedikasikan untuk anda yang merasa sebagai pendidik.

Dunia hari ini menyajikan paradoks kehidupan yang memprihatinkan. Ketika peradaban dunia menuju kepada satu pola kehidupan yang perlahan-lahan melenyapkan etika dan nilai-nilai religius, pada saat yang sama sistem pendidikan yang berkembang adalah sistem pendidikan sektarian yang sangat materialis. Transformasi pendidikan berjalan tanpa dimotori oleh konsep yang jelas akan hakikat pendidikan itu sendiri sehingga yang terlahir adalah manusia-manusia yang kehilangan konsep diri, minus nilai kemanusiaan. Terkadang mereka memberikan perlakuan yang berlebihan pada satu sisi tetapi di sisi lain diabaikan sama sekali. Mereka seolah-olah berputar pada poros pembahasan yang serba material.
Sebenarnya bukan hal yang mengherankan jika banyak di antara mereka yang hanya mampu hidup sekedar mempertahankan hidup, mempertahankan diri sekedar agar tidak mati. Ya, gambaran yang serupa dengan binatang melata, sebuah perumpamaan di dalam Al-Qur’an bagi manusia yang tidak memiliki konsep diri yang jelas. Kondisi ini terlahir dari banyak sebab, salah satunya adalah karena faktor kericuhan dalam sistem pendidikan sendiri. Dan jika mau jujur, bukankah sistem pendidikan di Indonesia adalah juga sistem pendidikan materialis bahkan cenderung hedonis? Orientasinya hanya kepada aspek bendawi tanpa mengkaji nilai-nilai moral dan religius yang pada dasarnya merupakan petikan nilai teragung yang mesti ditransformasikan juga melalui pendidik.
Mengubah sistem yang telah menyelubungi bangsa ini bukanlah hal yang mudah, terlebih jika merunut pada diri sendiri sebagai pribadi pendidik. Perlu sebuah kesadaran dari diri si pendidik untuk memberikan terapi dalam aktivitas mendidik dan mengajar mereka. Sebagai seorang insan pendidikan, saya tidak lantas merasa sangat pantas mendakwakan kritik karena yang melekat pada diri saya pun jauh dari sebuah kemapanan. Tetapi pendapat saya ini lebih menjadi pandangan yang boleh saja mengundang pro kontra anda; para pembaca atau; para pendidik. Antara anda yang idealis dan anda yang praktis atau mungkin juga anda yang simbolis.
Menyitir pendapat Mukti Sanjya, S.Pd dalam salah satu tulisannya tentang karakter guru dalam buletin dinas pendidikan, saya sepakat sekali bahwa sudah semestinya seorang pendidik memiliki karakter cemerlang dan mewariskan keteladanan. Dan memang, sudah semestinya perbaikan itu dimulai dari si pendidik sendiri.
Guru sebagai seorang pendidik sama sekali berbeda dengan seorang pembaca berita yang sekedar menyampaikan informasi demi informasi. Maka menjadi guru semestinya tidak sekedar transformasi ilmu. Ada tugas besar yang mendasar bagi seorang pendidik (dalam bidang apa pun) yaitu bagaimana mengendalikan objek didiknya kepada visi hidup yang lebih baik. Maka, anda para pendidik: jangan salahkan siapa-siapa bila objek didik menjadi tidak matng dalam hidup dan cenderung beringas.
Berikut sebuah ilusi tentang seorang pendidik yang terekam dalam pemahaman saya.
Bukankah semua bermula dari ‘TARBIYAH’ ?
Pendidik adalah orang yang menyadari keagungan, ketinggian dan kemuliaan jalan tarbiyah (mendidik). Seperti Rasulullah SAW yang mentarbiyah para sahabat dan shahabiyah, maka menjadi pendidik adalah pewaris generasi Rabbani, pewaris jalan kenabian. Sehingga; Penyelewengan misi pendidikan adalah penghianatan terhadap agama.
Pendidik adalah para pengayuh perahu kecerdasan menuju muara keikhlasan. Mereka mengetahui orientasi yang jelas tentang ‘tarbiyah’ yang semestinya. Tidak terdapat padanya ghurur (bangga diri), riya (mengharap popularitas) meski dengan menjadi pendidik berarti siap menjadi selebritis kampus, siap dkritik, siap dipuji, siap digosipin, bahkan siap mendapat julukan khusus dari objek didik. Menjadi sia-sia semua tindakan seorang guru bila peran ‘hati’ ditiadakan dalam transfer ilmu.
Pendidik adalah aplikator manajemen massa, kebijakan publik bagi anak-anak didiknya. Ia mengetahui metode terbaik dalam menyampaikan dan mengenali ruang lingkup amanahnya.
Pendidik adalah jendela ilmu yang siap dibentang oleh objek didiknya. Maka menjadi guru memang harus cerdas.
Pendidik adalah teladan yang mentransfer kesebangunan, keselarasan, kecocokan antara keyakinan dan perkataan serta perbuatannya. Maka menjadi pendidik mesti melenyapkan kemunafikan.
Pendidik bukan eksekutor yang memaksakan penjejalan tugas selaksa gunung yang tidak mungkin dikerjakan objek didiknya. Maka pendidik adalah sahabat yang memahami kesulitan objek didiknya dan semestinya bertabur kebijaksanaan dalam dirinya.
Pendidik adalah gambaran kedisiplinan, wujud keteraturan sholat lima waktu dan kerapian wudhu. Ia selalu hadir tepat waktu, komitmen terhadap perannya dan efektif dalam memberikan pemahaman.
Pendidik adalah bingkai kebaikan yang selalu mengucurkan pesan dan kesan moral pada butir-butir perkataannya, menelurkan akhlak mulia dalam kesabarannya dan mengijinkan kharismanya menjadi penyejuk hati bagi objek didiknya.
Maka kesimpulannya, pendidik di jaman ini adalah anak panah kemuliaan yang siap dilejitkan untuk membenahi kebobrokan moral, kemiskinan ilmu dan kehancuran akhlak. Sesungguhnya, kita semua adalah para pendidik. Pendidik bagi diri sendiri, bagi keluarga, bagi orang-orang terdekat, bagi masyarakat dan khusus anda yang berprofesi sebagai pendidik sejati, berbahagialah sebab mendidik adalah mata air yang mengalirkan kebaikan, yang menentukan akan kemana ‘orang-orang besar’ negeri ini kelak akan berdiri, menghantarkan kemana langkah mereka akan diayun, dan mempersiapkan kata-kata apa yang akan mereka pertanggungjawabkan. Semoga peran kecil kita memiliki nilai berharga di hadapanNya. (Rieve)

My Favourite Film

  • The Message
  • Vertical Limit
  • Turtle can Fly
  • The Kite Runner
  • The Purshuit of Happynes
  • Ie Grand Voyage
  • Sang Murabby

My Favourite Books

  • Tetralogi Laskar Pelangi
  • A Thousand Splendid Suns
  • The Kite Runner

Acara TV Favourite

  • Akhirnya Datang Juga
  • Wisata Kuliner
  • Cinta Fitri, hehehe
  • e-Lifestyle
  • Padamu Negeri
  • Apa Kabar Indonesia
  • Kick Andy
  • Todays Dialogue
  • The nanny 911

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini?