Dalam deras pertanyaan yang terus menghujam saat menuliskan kalimat-kalimat ini, saya mencoba untuk mengembalikan segalanya kepada Sang Pemilik Jawaban yang senantiasa menjawab dengan sempurna tak semata pertanyaan, tetapi juga kegamangan, kerisauan, keragu-raguan dan ketidaktentraman dengan jawaban indah, “Dan katakanlah, “Ya Tuhan ku, berilah ampun dan berilah rahmat, dan engkau adalah pemberi rahmatyang baik”, (QS. Al-Mukminun: 118)
Setiap manusia, setiap saat senantiasa menambah deretan waktu serupa angka yang menandakan pertambahan usianya sekaligus mengurangi jatah kehidupannya. Rangkaian waktu yang semestinya menambah kedewasaannya. Tapi soal makna kemerdekaan yang diserap, belum tentu sebanyak usianya itu. Orang yang memiliki usia lebih tua belum tentu memiliki kepahaman yang lebih dalam akan makna kehormatan diri, kebebasan yang diberikan Allah sejak kita dilahirkan ke dunia ini sebagai bentuk karunia sang Pencipta. Meski sebagai manusia terpelajar kita mengetahui bahwa daya akal dan nalar kita ada, tetapi seringkali kita terperangkap fenomena duniawai yang memerangkap kita.
Betapa banyak di antara kita kerap kali terpedaya dengan suguhan media yang mengkebiri fitrah manusiawi sebagai hamba Allah yang hanif. Terpedaya oleh pemikiran sekuler yang berbaju agamis. Terpedaya oleh hawa nafsu yang mengaburkan segenap pemahaman, hingga hijab-Nya tak kunjung tersingkap. Senantiasa bertambah tebal karena deretan keluh, segudang alasan dan keengganan memproses diri menjadi lebih baik dengan azam kesungguhan yang utuh tak berpoles kata dan tak berlapis kemolekan diri hingga tega menghujani saudaranya yang lain dengan kealfaan demi kealfaan diri.
Cobalah tanyakan pada setiap orang yang kita temui tentang apa arti kemerdekaan? Atau lebih sederhana lagi apakah kita sudah merdeka? Beragam jawabannya. Meski 61 tahun yang lalu kita telah memproklamirkan kemerdekaan negeri ini, tapi ternyata kemerdekaan hakiki tak kunjung kita miliki. Kemiskinan yang merebak di mana-mana, ditambah dengan banyaknya bencana alam yang menambah angka kemiskinan itu, toh selama ini hanya kita maknai dengan pernyataan, “Negeri kita tengah dilanda bencana sebagai ujian dari Allah”. Mengapa tak kita lanjutkan pemaknaan itu dengan mengkaji bencana-bencana itu lebih arif, semisal bertanya pada diri sendiri, “mengapa bencana itu tak membuat diri tersadar akan keMahaKuasaan Allah?”.
Saudaraku, mari beranjak dari ketekungkungan ini dengan memerdekakan diri sendiri dengan benar untuk selanjutnya kita sampaikan pada orang-orang di sekitar kita. Bahwa seperti kata Ali Bin Abu Thalib Radiyallahu’anh, “Barangsiapa yang dapat mengendalikan hawa nafsunya, maka ia bebas dan merdeka”. Hawa nafsu adalah adalah penjara dengan belenggunya yang berselimut kebebasan, karena ia tak pernah membimbing kita kepada kebaikan, melainkan keterkungkungan yang berakhir pada kehancuran.
Kemerdekaan bukan berarti pula merasa bahwa kita lah yang paling baik lantas mendominasi semua orang, yang selanjutnya justru membuat kita tak menghargai “teriakan” orang lain kepada kita agar kita sedikit membatasi gerak yang kadang kelewat batas. Mentang-mentang kita memiliki kelebihan di banyak bidang, kita lantas mengabaikan pendapat orang-orang yang juga ingin mencicipi indahnya beramal. Karena itu, menghargai perbedaan dan bertoleransi kepada orang adalah penghargaan kita kepada kemerdekaan itu sendiri supaya kita dapat hidup sebagai saudara.
Kemerdekaan adalah juga membangun masyarakat dan melawan kejumudan. Hal ini dicontohkan Rasulullah dalam kepemimpinan beliau yang mampu menciptakan iklim kebebasn di mana seluruh masyarakat bebas untuk berbicara, tidak ada perbedaan antara orang lemah dan kuat di mata hukum dan segala diskriminasi lain. Berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah dengan bahasa yang santun adalah aplikasinya yang kemudian terekspresikan dalam akhlakul karimah yang memukau. Tentunya tak berparas kemunafikan diri melainkan berbalut keikhlasan hakiki.
Kemerdekaan adalah juga memahami batas-batas perilaku. Manusia yang berakal semestinya tidak pernah mengimpikan kebebasan mutlak tanpa batas dan tanpa ikatan karena kebebasan mutlak itu hanya ada di akhirat, bukan di dunia. Kalau kemerdekaan dan kebebasan hanya sekedar dimaknai dengan bebas berekspresi “umbar aurat” (maaf) dengan alasan seni, maka sebenarnya ia tengah merendahkan diri sendiri di tengah balutan intelektualitas dan peradaban modern. Ketika kita mampu mengenal batas-batas perilaku dan mampu mengendalikan diri untuk mematuhi batasan-batasan itu maka tercermin bahwa kita adalah manusia yang mengerti atturan hidup, berilmu, berperadaban dan pantas hidup di zaman yang berteknologi maju, bukan di zaman batu yang seba gelap, penuh intimidasi dan kebobrokan moral.
Maka, kebebasan adalah juga berarti Berprestasi sebanyak-banyaknya di hadapan Allah saja. Tanyakan pada diri sendiri, mengapa kita terperangkap pada keinginan menderu untuk mengikuti trend, mode, figuritas, dan takut dituduh ketinggalan zaman. Mengapa tak coba kita paparkan bahwa sesungguhnya Allah telah memerdekakan diri kita untuk menjadi pribadi mulia dengan amalan-amalan terbaik kita? Begitu banyak potensi yang dititipkan pada diri kita, setiap kita memiliki potensi yang berbeda dengan keunggulan masing-masing. Tetapi begitu dangkal kesyukuran kita. Sekedar berujar pada bibir tanpa penghayatan apalagi perwujudan berupa prestasi iman di hadapan-Nya. Sesungguhnya pada apa pun posisi kita, akan bisa mehairkan prestasi terbaik dengan berperan maksimal. Mencurahkan segenap pikiran, hati dan tenaga dengan hanya mengharapkan keridhoan-Nya.
Saudaraku…betapa masih banyak makna kemerdekaan itu yang semuanya hanya kan melafazkan puji-pujian untuk Allah tatkala kita renungi keindahannya. Tetapi semua itu hanya jika kita memiliki pandangan yang baik dan benar pada agama Allah ini, mengikuti aturan dan petunjuk-Nya yang lurus. Semoga tertiti “sirathal mustaqiem” dengan kemudahan da keindahan melaluinya hingga pantaslah kita menjejak jannah-Nya. Sebab “janji Allah nyata dan pasti”. (FH)
Setiap manusia, setiap saat senantiasa menambah deretan waktu serupa angka yang menandakan pertambahan usianya sekaligus mengurangi jatah kehidupannya. Rangkaian waktu yang semestinya menambah kedewasaannya. Tapi soal makna kemerdekaan yang diserap, belum tentu sebanyak usianya itu. Orang yang memiliki usia lebih tua belum tentu memiliki kepahaman yang lebih dalam akan makna kehormatan diri, kebebasan yang diberikan Allah sejak kita dilahirkan ke dunia ini sebagai bentuk karunia sang Pencipta. Meski sebagai manusia terpelajar kita mengetahui bahwa daya akal dan nalar kita ada, tetapi seringkali kita terperangkap fenomena duniawai yang memerangkap kita.
Betapa banyak di antara kita kerap kali terpedaya dengan suguhan media yang mengkebiri fitrah manusiawi sebagai hamba Allah yang hanif. Terpedaya oleh pemikiran sekuler yang berbaju agamis. Terpedaya oleh hawa nafsu yang mengaburkan segenap pemahaman, hingga hijab-Nya tak kunjung tersingkap. Senantiasa bertambah tebal karena deretan keluh, segudang alasan dan keengganan memproses diri menjadi lebih baik dengan azam kesungguhan yang utuh tak berpoles kata dan tak berlapis kemolekan diri hingga tega menghujani saudaranya yang lain dengan kealfaan demi kealfaan diri.
Cobalah tanyakan pada setiap orang yang kita temui tentang apa arti kemerdekaan? Atau lebih sederhana lagi apakah kita sudah merdeka? Beragam jawabannya. Meski 61 tahun yang lalu kita telah memproklamirkan kemerdekaan negeri ini, tapi ternyata kemerdekaan hakiki tak kunjung kita miliki. Kemiskinan yang merebak di mana-mana, ditambah dengan banyaknya bencana alam yang menambah angka kemiskinan itu, toh selama ini hanya kita maknai dengan pernyataan, “Negeri kita tengah dilanda bencana sebagai ujian dari Allah”. Mengapa tak kita lanjutkan pemaknaan itu dengan mengkaji bencana-bencana itu lebih arif, semisal bertanya pada diri sendiri, “mengapa bencana itu tak membuat diri tersadar akan keMahaKuasaan Allah?”.
Saudaraku, mari beranjak dari ketekungkungan ini dengan memerdekakan diri sendiri dengan benar untuk selanjutnya kita sampaikan pada orang-orang di sekitar kita. Bahwa seperti kata Ali Bin Abu Thalib Radiyallahu’anh, “Barangsiapa yang dapat mengendalikan hawa nafsunya, maka ia bebas dan merdeka”. Hawa nafsu adalah adalah penjara dengan belenggunya yang berselimut kebebasan, karena ia tak pernah membimbing kita kepada kebaikan, melainkan keterkungkungan yang berakhir pada kehancuran.
Kemerdekaan bukan berarti pula merasa bahwa kita lah yang paling baik lantas mendominasi semua orang, yang selanjutnya justru membuat kita tak menghargai “teriakan” orang lain kepada kita agar kita sedikit membatasi gerak yang kadang kelewat batas. Mentang-mentang kita memiliki kelebihan di banyak bidang, kita lantas mengabaikan pendapat orang-orang yang juga ingin mencicipi indahnya beramal. Karena itu, menghargai perbedaan dan bertoleransi kepada orang adalah penghargaan kita kepada kemerdekaan itu sendiri supaya kita dapat hidup sebagai saudara.
Kemerdekaan adalah juga membangun masyarakat dan melawan kejumudan. Hal ini dicontohkan Rasulullah dalam kepemimpinan beliau yang mampu menciptakan iklim kebebasn di mana seluruh masyarakat bebas untuk berbicara, tidak ada perbedaan antara orang lemah dan kuat di mata hukum dan segala diskriminasi lain. Berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah dengan bahasa yang santun adalah aplikasinya yang kemudian terekspresikan dalam akhlakul karimah yang memukau. Tentunya tak berparas kemunafikan diri melainkan berbalut keikhlasan hakiki.
Kemerdekaan adalah juga memahami batas-batas perilaku. Manusia yang berakal semestinya tidak pernah mengimpikan kebebasan mutlak tanpa batas dan tanpa ikatan karena kebebasan mutlak itu hanya ada di akhirat, bukan di dunia. Kalau kemerdekaan dan kebebasan hanya sekedar dimaknai dengan bebas berekspresi “umbar aurat” (maaf) dengan alasan seni, maka sebenarnya ia tengah merendahkan diri sendiri di tengah balutan intelektualitas dan peradaban modern. Ketika kita mampu mengenal batas-batas perilaku dan mampu mengendalikan diri untuk mematuhi batasan-batasan itu maka tercermin bahwa kita adalah manusia yang mengerti atturan hidup, berilmu, berperadaban dan pantas hidup di zaman yang berteknologi maju, bukan di zaman batu yang seba gelap, penuh intimidasi dan kebobrokan moral.
Maka, kebebasan adalah juga berarti Berprestasi sebanyak-banyaknya di hadapan Allah saja. Tanyakan pada diri sendiri, mengapa kita terperangkap pada keinginan menderu untuk mengikuti trend, mode, figuritas, dan takut dituduh ketinggalan zaman. Mengapa tak coba kita paparkan bahwa sesungguhnya Allah telah memerdekakan diri kita untuk menjadi pribadi mulia dengan amalan-amalan terbaik kita? Begitu banyak potensi yang dititipkan pada diri kita, setiap kita memiliki potensi yang berbeda dengan keunggulan masing-masing. Tetapi begitu dangkal kesyukuran kita. Sekedar berujar pada bibir tanpa penghayatan apalagi perwujudan berupa prestasi iman di hadapan-Nya. Sesungguhnya pada apa pun posisi kita, akan bisa mehairkan prestasi terbaik dengan berperan maksimal. Mencurahkan segenap pikiran, hati dan tenaga dengan hanya mengharapkan keridhoan-Nya.
Saudaraku…betapa masih banyak makna kemerdekaan itu yang semuanya hanya kan melafazkan puji-pujian untuk Allah tatkala kita renungi keindahannya. Tetapi semua itu hanya jika kita memiliki pandangan yang baik dan benar pada agama Allah ini, mengikuti aturan dan petunjuk-Nya yang lurus. Semoga tertiti “sirathal mustaqiem” dengan kemudahan da keindahan melaluinya hingga pantaslah kita menjejak jannah-Nya. Sebab “janji Allah nyata dan pasti”. (FH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar