Mencoba memaknai hari-hari

Rabu, 11 Juni 2008

AKHIR...ITU...

Beberapa tahun yang lalu seorang teman pernah mengatakan pada saya: Yang namanya akhir itu adalah ketika kita sudah menemui ajal.
Ketika itu saya sempat menyesalkan keputusan yang diambilnya yang menurut saya sama sekali tidak masuk akal. Keputusan yang membuat banyak orang kehilangannya.Tapi saya pun tidak punya kuasa apapun untuk mencegah.
Seorang rekan yang lain juga pernah mengatakan pada saya ketika saya berpamitan pulang ke Riau dan menitipkan adik saya padanya. Dia mengatakan : HANYA KEPADA ALLAH KITATITIPKAN DIRI, CINTA DAN HATI.
Beberapa saatsetelah itu handphonenya tidak bisa saya hubungi lagi. Kabar yang saya dengar "Dia sudah meninggal karena sakit".
MasyaAllah...banyak sekali pelajaran yangsaya dapatkan dari kata-kata bijak orang-orangdi sekitar saya.
Kalimat itu masih sering berpendar-pendar dalam pemikiran saya ketika saya menemui berbagai masalah yang rumit dalam kehidupan saya.
Kali ini, saya bisa mengatakan sesuatu ketika saya baru saja menyelesaikan satu hal lagi dalam hidup saya yang tidak sesuai dengan harapan saya. Sungguh...ternyata saya tidak perlu berduka cita atas apa pun yang menimpa saya ketika saya sudah menjalankan semua prosedur dengan cara yang dikehendakiNYA. Kali ini saya bisa mengatakan bahwa : Barangkali saya telah selesai dalam satu hal, tapi ini sama sekali bukanlah akhir dari segalanya. Sebab hidup adalah penyelesaian satu demi satu peristiwa kehidupan menempuh takdirNYA hingga kehidupan itu berakhir karenaNYA, olehNYA dan untukNYA. Betapa tidak berdayanya kita dihadapan kekuasaan ALLAH... tetapi betapa penyayangnyaALLAH senantiasa menguatkan kita, memberi kita kehidupan, memberi kita kebahagiaan dengan kesabaran, kesyukuran dan keridhoan. Saya rasa...saya adalah orang yang berbahagia mencintaiNYA dan merasa dicintaiNYA.

KETIKA CINTA MENGAJARKAN KEHIDUPAN

(Untuk seseorang saudari yang tengah belajar keras mencintaiNYA, semoga menemukan yang dicari)

Sekali lagi ini sebuah cerita tentang cinta. Tema yang tak pernah kehilangan trend untuk terus dibahas, sebab ia memang menjadi energi kehidupan. Begitu banyak ragamnya cerita itu hingga bila diambil pelajaran darinya tak pernah cukup waktu untuk menampungnya.
Tujuh lembar kertas ukuran A4 berisi tulisan tangan berada di tangan saya sekarang. Luar biasa penulisnya bisa merakit rentetan kalimat-kalimat itu begitu detail menceritakan setiap kejadian yang disimpannya dalam hati tentang seorang manusia yang begitu dikaguminya. Sayangnya kekaguman itu tak berbalas dan mengendap dalam kenangannya. Ia menangis merasakan sesak di dadanya.
“Saya harus bagaimana, Mbak?”
Begitu akhir tulisan itu setelah untai kalimat-kalimat dramatis, puitis, deskriptif bahkan sesekali hiperbolis dituliskannya. Sebut saja namanya Anisa. Saya sempat kebingungan untuk menjelaskan padanya bahwa apa yang dirasakannya itu tidak sepenuhnya benar. Melihat raut wajahnya yang lembut tak kuasa rasanya membentak apalagi mengkalimnya mentah-mentah bahwa ia tak semestinya memiliki perasaan itu karena begitu saya katakan padanya, bisa saya jamin ia akan langsung menangis. Saya hanya bisa menepuk-nepuk punggungnya sambil mengatakan : SABAR YA. Betapa ingin saya melihatnya lebih tegar saat itu. Betapa ingin saya katakan padanya bahwa kita tidak boleh memelihara cinta atas dasar nafsu.
“Apakah saya salah Mbak” Kembali ia mengulangi pertanyaan itu. Saya masih mencari cara untuk menjelaskan padanya.
“Bukankah saya tidak pacaran dan menyimpan semuanya di hati saya saja”
Menurut anda apa yang harus saya jawab sementara saya melihatnya telah demikian tersiksa. Seperti juga saya, ia juga perempuan. Dan perempuan selalu mengedepankan rasa yang kadang-kadang rasa itu bisa membunuh karakternya jika tidak dimanage dengan benar.
“Anisa sudah siap menikah?” tanya saya, iseng saja sebenarnya.
Ia buru-buru menggeleng.
“Belum..belum Mbak, Nisa belum siap untuk nikah sekarang”,
“Kalau begitu, abaikan saja perasaan itu karena itulah penyakitnya”
Ia mendengus dan berkata sangat lirih “Sulit, Mbak…”
Ini bukan kasus pertama yang saya hadapi ketika anak-anak seumuran SMA itu curhat tentang problematika mereka. Semua kasus selalu berbeda sebagaimana tipikal kepribadian anak-anak itu juga berbeda. Terkadang bercerita tentang jelous-jelousan seputar pershabatan mereka. Terkadang soal iri-irian dalam prestasi belajar. Dan saya memperlakukan mereka semua dengan cra yang berbeda-beda. Ada yang harus diperlakukan dengan penuh kemanjaan, ada yang harus diperlakukan dengan pembiaran, ada juga yang harus selalu diperhatikan, ada yang harus dipercayai dan diberi tangggung jawab, ada yang harus sering-sering dipuji. Satu hal yang menjadi teramat berarti bagi saya adalah bahwa begitu banyak yang bisa saya pelajari dari mereka ketika kelak saya menjadi Ibu yang sesungguhnya. Dan sebagaimana Ibu-ibu yang lain, saya pun menginginkan mereka tumbuh menjadi perempuan-perempuan sholehah yang tegar, teguh, lembut namun tegas. Mereka yang bisa mengabdikan potensi-potensi mereka pada jalan yang diridhoiNya. Dan tentunya…harapan ini tidaklah sekedar mengemuka. Harus saya upayakan, saya perjuangkan. Maka begitulah pembinaan itu tetap saya pertahankan, merapikan langkah-langkah mereka saat mulai keluar jalur, menyangga mereka saat lemah…sampai suatu saat nanti mereka harus bisa berdiri sendiri dan berjalan dengan benar. Alasannya satu saja, sebab saya mencintai mereka karena Allah…karena mereka adalah saudara-saudara saya.
Maka kasus yang kali ini pun teramat berarti bagi saya. Saya melihat Anisa sedang tumbuh belajar memahami kehidupan ini dengan cinta. Ia sudah memiliki cinta, hanya saja belum ditempatkannya pada tempat yang proporsional. Makanya ketika cinta itu tak berbalas, ia menjadi kecewa, patah hati dan terluka. Padahal seharusnya cinta yang sejati tidak akan membuahkan luka. Kenapa? Anda boleh saja tidak setuju dengan saya, tapi saya memiliki alasan untuk memelihara cinta. Bagi saya, cinta itu bukanlah mendapatkan apa yang kita harapkan, bukan pula bisa hidup bersama yang kita harapkan sebab harapan semacam itu terlalu sempit. Cinta yang seperti itu mudah kandas, terlalu dangkal. Kenapa dangkal? Karena sandarannya tidak kokoh. Jika sandarannya lepas maka ia pun tenggelam atau hanyut.
Bagi saya… cinta itu sangat kaya makna dan ia akan membuat kita kaya. Karena cinta itu memiliki sandaran yang kokoh dan memiliki sumber yang tak pernah habis. Kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah, maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, ibarat ibadah hati yang paling hakiki: Selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah atau melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab disini kita justru sedang melakukan sebuah “pekerjaan jiwa” yang besar dan agung: mencintai. Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yang sesungguhnya terjadi hanyalah “kesempatan memberi” yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki cinta, memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan, Maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian, jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pecinta sejati selamanya hanya bertanya: “Apakah yang akan kuberikan?” Tentang kepada “siapa” sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder. Jadi tidak hanya patah atau hancur karena lemah.
Dan Anisa pun kembali bertanya pada saya.
“Apakah saya salah, Mbak kalau saya jatuh cinta padanya? Bukankah tidak sepenuhnya salah saya? Ia yang menebar rasa itu, membuat saya berharap. Tapi nyatanya ia tidak jatuh cinta pada saya”,
Sesungguhnya saya geram sekali melihatnya. Lelaki yang dikaguminya itu sama sekali sebenarnya tidak menaruh rasa padanya. Hanya saja ia memang simpatik, siapa pun mengakuinya. Dan Anisa kebablasan memaknainya sebagai bentuk lain dari perhatian. Adikku… jangan biarkan rasa itu menggelayuti hatimu sebab belum saatnya ada. Saya mencoba diplomatis mengatakan padanya:
“Mbak punya pendapat yang berbeda denganmu, Sa. Mbak pernah membaca sebuah kalimat bijak yang mengatakan bahwa sesuatu yang benar tapi tidak ada di hati, itu namanya kebohongan. Sebaliknya sesuatu yang salah tetapi ada di hati itu disebut kesalahan. Mbak rasa kamu sudah cukup dewasa untuk memahami apa yang ada di hatimu karena kamu pun sudah tahu bahwa yang ada di hatimu bukanlah kebenaran. Sebab jika benar dia tidak akan meninggalkan luka seperti yang kau rasakan saat ini”.
Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak untuk hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita.
Kasus ini belum tuntas. Saya masih mendapati Anisa murung. Satu hal lagi pelajaran buat saya, ternyata tidak semua hal bisa saya atasi sendiri.
“Tilawah yuk, Sa”
Saya letakkan Al-Qur’an di tangannya.
“Kalau Mbak ternyata tidak bisa meringankan bebanmu, Mbak yakin Allah punya cara sendiri untuk membuatmu bahagia asal kita menyerahkan segala urusan kepadaNya. Mulailah dengan ini dan perbanyaklah membacanya”
Entahlah,saya pun masih terus dan sedang belajar, belajar tentang banyak hal...terlalu banyak yang belum saya pelajari. sebab hidup adalah pembelajaran. Ketika pembelajaran itu telah selesai...saya rasa ajal pun akan datang. Allahualam bishowab.(Rieve)

My Favourite Film

  • The Message
  • Vertical Limit
  • Turtle can Fly
  • The Kite Runner
  • The Purshuit of Happynes
  • Ie Grand Voyage
  • Sang Murabby

My Favourite Books

  • Tetralogi Laskar Pelangi
  • A Thousand Splendid Suns
  • The Kite Runner

Acara TV Favourite

  • Akhirnya Datang Juga
  • Wisata Kuliner
  • Cinta Fitri, hehehe
  • e-Lifestyle
  • Padamu Negeri
  • Apa Kabar Indonesia
  • Kick Andy
  • Todays Dialogue
  • The nanny 911

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini?