Mencoba memaknai hari-hari

Kamis, 03 April 2008

MENDIDIK DIRI SENDIRI

Ini adalah sebuah email yang dikirim oleh seorang saudari saya di Bandung. Semoga menjadi pelajaran berarti buat kita. Dan semoga Allah senantiasa menjaganya. Amin
Tarbiyah Dzatiyah (Bagian Pertama)
Oleh: Mochamad Bugi

Tabiat dakwah ini berkembang dan menyebar ke berbagai pelosok dunia. Karena misi dakwah ini adalah menyebarkan rahmat bagi dunia untuk seluruh umat manusia (Al-Anbiya’: 107). Dengan begitu dakwah menjadi hak semua orang agar mereka meraih hidayah Allah. Amatlah pantas semua kalangan mendapatkan nikmat dakwah. Paling tidak, semua manusia dapat merasakan rahmat Islam. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh kepribadian dai dan aktivis dakwah.
Aktivis dakwah yang memikul tugas mengembangkan ajaran Islam ke segenap pelosok bumi seyogianya adalah orang yang mampu meningkatkan integritas diri dari masa ke masa. Peningkatan diri aktivis dakwah selaras dengan perkembangan dakwah. Peningkatan integritas diri secara mandiri inilah yang disebut dengan tarbiyah dzatiyah.
Kemampuan tarbiyah dzatiyah menjadikan dai mampu bertahan dalam berbagai ujian dan cobaan dakwah. Ia tidak futur (malas dan lesu), tidak kendur semangat dakwahnya, pemikirannya tidak jumud dan tidak akan bimbang dan ragu menjawab berbagai tuduhan miring serta yang sangat diharapkan dari efek tarbiyah dzatiyah adalah seorang dai mampu menyelesaikan persoalan yang menghadangnya.
Dengan sikap itu aktivis dakwah tidak sangat bergantung pada bayanat pusat atau qararat qiyadah. Melainkan ia mampu mengembangkan dakwah sebagaimana mestinya. Dan dapat mengambil keputusan yang tepat. Utusan-utusan Rasulullah saw. telah membuktikan dirinya dalam mengembangkan dakwah di berbagai tempat. Mereka dapat bertahan sekalipun jauh dari Rasulullah saw. dan komunitas muslim lainnya. Ja’far bin Abi Thalib di antaranya. Dia dan sahabat lainnya dapat tinggal di Habasyah dalam waktu yang cukup lama. Sekalipun mereka sangat merindukan berkumpul bersama dengan saudara muslim lainnya, mereka dapat mempertahankan dirinya dalam keimanan dan ketaqwaan. Begitu kuatnya daya tahan mereka hidup bersama dakwah jauh dari saudara-saudaranya yang lain dalam waktu yang cukup lama. Hingga Rasulullah saw. begitu bangga terhadap mereka di saat mereka pulang ke Madinah. Beliau menyatakan, “Aku bingung apa yang membuat senang diriku, apakah karena menangnya kita di Khaibar ataukah kembalinya kaum muslimin dari Habasyah.”
Demikian pula Mush’ab bin Umair sebagai duta Islam pertama dapat mengembangkan dakwah di Madinah dan berhasil membangun masyarakat di sana . Mush’ab sebagai guru pertama di Madinah dapat memperluas jaringan dakwah dan aktivisnya. Sehingga tempat itu menjadi basis komunitas umat Islam di kemudian hari. Dan menjadi mercusuar peradaban Islam.
Begitulah kepribadian aktivis dakwah yang mumpuni dalam mengemban amanah mulia. Mereka dapat menunaikan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Lantaran tarbiyah dzatiyah yang ada pada diri mereka. Malah banyak tugas-tugas lain dapat diselesaikan dengan nilai cumlaude. Sebaliknya aktivis dakwah yang tidak mampu meningkatkan integritas dirinya cenderung linglung. Bahkan mungkin akan menimbulkan kegaduhan dalam kerja dakwah. Sebagaimana ungkapan pujangga lama ‘Al-‘askarul ladzi tasuduhul bithalah yujidul musyaghabati, aktivis yang tidak punya kemampuan untuk berbuat sesuatu sangat potensial membuat kegaduhan dalam kerja dakwah’.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al-Anfal: 27)
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Al-Mutaharikah (Kepribadian Aktivis Islam)
Tidak dipungkiri bahwa Tarbiyah Dzatiyah menjadi kepribadian aktivis Islam. Bahkan Rasulullah saw. menilai hal ini sebagai prasyarat untuk para duta Islam dalam mengembangkan dakwah. Karenanya hal ini menjadi point dalam fit and profer-test bagi mereka yang akan menjalani tugasnya. Sehingga seseorang yang diutus ke suatu tempat, Nabi saw. mempertimbangkan kemampuannya dalam pengembangan integritas dirinya.
Hal ini sebagaimana yang dipertanyakan Rasulullah saw. pada Muadz bin Jabal saat akan diutus ke Yaman. “Wahai Muadz, bila kamu berada di tempat yang baru nanti, jika menemukan suatu persoalan apa yang akan kamu putuskan?” Muadz menjawab, “Aku akan putuskan berdasarkan Kitab Allah.” Rasulullah saw. pun melanjutkan, “Bila tidak kamu temukan pada Kitab Allah, dengan apa kau putuskan?” Jawab Muadz, “Aku akan tetapkan berdasarkan Sunnah Rasulullah.” Nabi saw. kemudian menanyakan kembali, “Bila tidak juga kamu dapati di dalamnya, apa yang akan kamu lakukan?” Muadz menjawab, “Aku akan putuskan dengan akal pikiranku (ijtihadku).” Ternyata jawaban Muadz sangat memuaskan hati Rasulullah saw. Malah beliau memandang bahwa kualitas Muadz sudah memadai untuk mengemban tugas mulia tersebut.
Kapabilitas yang semacam itu diharapkan mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang selalu muncul di lapangan dakwah. Sehingga ia tidak selalu menyerahkan masalah itu pada qiyadah dakwah ataupun aktivis lainnya. Dengan kemampuan itu aktivis dakwah tidak gamang dalam menyikapi berbagai urusan yang terkait dengan tanggung jawabnya. Karena tanpa sikap itu persoalan dakwah akan bertambah pelik dan menambah beban qiyadah. Telah sering kita dengar qiyadah dakwah mengarahkan agar aktivis tidak selalu mengandalkan jawaban dari pusat atau menunggu bayanatnya. Melainkan mereka perlu menyikapi dengan cepat apa yang mesti diambil sikapnya untuk menuntaskan suatu permasalahan.
Meski demikian kita pun perlu melihat koridornya agar tidak terjebak dalam membebaskan diri untuk selalu bersikap di luar kendali qiyadah. Karena ini pun akan menimbulkan kekisruhan dalam struktural kendali dakwah. Seperti sikap Hudzaifah ibnul Yaman sewaktu ditugaskan Rasulullah saw. masuk ke barisan musuh. Hudzaifah mendapati Abu Sufyan sedang memanaskan tubuhnya karena udara dingin. Saat itu Hudzaifah mampu untuk membunuhnya, akan tetapi ia teringat pesan Rasulullah saw. bahwa tugasnya waktu itu adalah memperhatikan kondisi musuh dan mengabarinya kepada Rasul. Sehingga ia urung untuk membunuhnya walau kesempatan itu ada di hadapannya.
Karena itu perlu menempatkan secara imbang terhadap permasalahan ini. Peningkatan integritas diri dan mematuhi rambu-rambu qiyadah. Yang lebih berbahaya lagi bagi aktivis dakwah adalah bila tidak memiliki keduanya. Syaikh Hamid ‘Asykariyah menegaskan, “mereka yang sudah tidak punyai kebaikan (peningkatan integritas diri dan mematuhi rambu-rambu qiyadah), mereka telah kehilangan kesadaran terhadap kemuliaan dakwah dan kepunahan perilaku taat pada qiyadah. Siapa yang telah kehilangan dua hal ini, maka mereka tidak ada gunanya tetap berada dalam barisan dakwah bersama kita.”
Ada’u Mutathallibatil Manhaj (Menyelesaikan Tuntutan Manhaj)
Manhaj dakwah memberikan ruang yang banyak untuk sarana tarbiyah agar dapat merealisasikannya seoptimal mungkin. Baik melalui liqaat tarbawiyah, daurah, seminar, mukhayyam ataupun tarbiyah dzatiyah. Untuk mengaplikasikan manhaj dakwah yang begitu banyak dan padat tidaklah memadai dengan sarana tarbiyah regular. Karena keterbatasan alokasi waktu maupun keterbatasan Murabbi dalam menyelesaikan tuntutan manhaj. Maka tarbiyah dzatiyah menjadi sarana untuk menyelaraskan tuntutan manhaj tersebut.
Oleh karena itu perlu dipahami dengan benar pada setiap aktivis dakwah agar dapat melakukan tarbiyah dzatiyah dalam dirinya. Hal ini akan sangat membantu mengaplikasikan nilai-nilai tarbawiyah secara maksimal. Dan dapat mencapai arahan manhaj yang menjadi acuan dakwah untuk mewujudkan dai yang siap meringankan perjalanan dakwah ini. Bila masing-masing aktivis sibuk untuk merealisasikan manhaj dalam dirinya sebagaimana tuntutan manhaj maka semua aktivis akan aktif dengan berbagai program dan kegiatannya.
Syaikh Abdul Halim Mahmud menyatakan bahwa tarbiyah dzatiyah merupakan tuntutan manhaj dakwah ini. Baik dalam arahannya agar menjadi aktivis dakwah yang sigap dan tanggap dalam menyambut tugas dakwah. Juga dalam muatannya yang tidak dapat diberikan secara kolektif karena berbagai pertimbangan. Namun dituntaskan secara personal dengan peningkatan kemampuan tarbiyah dzatiyah. Sehingga tampil aktivis yang siap go publik dengan Allah di jalan dakwah.
Tarqiyatu Ath-Thaqah Adz-Dzatiyah (Peningkatan Potensi Diri)
Peran serta aktivis terhadap dakwah sangatlah dimarakkan agar mereka dapat memberikan kontribusinya dan menjadi bagian dari dakwah. Dai yang dapat melakukan hal ini adalah mereka yang memahami betul potensi dirinya. Potensi yang dapat bermanfaat bagi perjalanan dakwah.
Menajamkan potensi diri menjadi aktivitas rutin. Seyogianya semakin hari semakin tajam potensi yang dimilikinya. Grafik potensinya selalu naik seiring perjalanan waktu. Sebagaimana yang dialami para pendahulu dakwah. Mereka senantiasa berada dalam kondisi puncak setiap bergulirnya waktu. Imam Ibrahim Al-Harby selalu mengomentari sahabat-sahabatnya dengan ungkapan istimewa. Katanya, “Aku sudah bergaul dengan fulan bin fulan beberapa waktu, siang dan malam. Dan tidak aku jumpai pada dirinya kecuali ia lebih baik dari kemarin.”
Layaknya aktivis dakwah dapat mengembangkan diri agar potensi yang dimilikinya betul-betul dapat didayagunakan seoptimal mungkin. Sehingga mereka bisa berada di garis terdepan. Bahkan sepatutnya dalam kondisi lebih baik dari hari-harinya yang telah lewat. Kondisi yang prima dan selalu lebih baik dari kemarin akan membuatnya istijabah fauriyah (dapat memenuhi panggilan dakwah dengan cepat) yang semakin kompleks tuntutannya. Dengan potensi yang demikian, aktivis dakwah dapat menempati lini yang beragam dalam tugas mulia ini. Karenanya tarbiyah dzatiyah adalah upaya untuk meningkatkan dan menajamkan seluruh potensi aktivis dakwah yang beragam.
Adapun aspek-aspek yang perlu ditingkatkan aktivis dakwah dalam tarbiyah dzatiyah terhadap dirinya meliputi:
1. Ar-Ruhiyah (Spiritual)
Sudah menjadi kebiasaan bagi para dai untuk dapat meningkatkan ketahanan ruhiyahnya. Sehingga ia tidak lemah dalam mengemban tugas mulia. Ruhiyah yang kokoh menjadi variable yang sangat menentukan. Bila perlu setiap aktivis memiliki program personal dalam menjaga ketahanan ruhiyah. Seperti merutinkan diri untuk shalat berjamaah di masjid, shaum sunnah, qiyamullail, sedekah, ziarah kubur ataupun aktivitas lainnya yang berdampak pada kesehatan ruhaninya.
Dengan upaya itu insya Allah maknawiyah dai tidak ringkih dan kendur. Kondisi maknawiyah yang rapuh akan berdampak negatif bagi dirinya dalam menjalankan tugas dakwah. Disamping itu, tampaknya para aktivis perlu mencermati naik turunnya ruhaniyah diri mereka sendiri. Bahkan sedapat mungkin mempunyai patokan yang terukur agar dapat dievaluasi dengan seksama baik melalui orang terdekat (murabbi, pasangan, teman) ataupun cukup diri sendiri.
Ambillah pelajaran dari sikap para sahabat dalam mentarbiyah ruhiyah mereka masing-masing. Ada yang selalu menjaga keadaan diri agar selalu dalam keadaan berwudlu’. Ada pula yang senantiasa mengunjungi orang yang sedang mengalami cobaan hidup. Ada juga yang berziarah ke makam, dan upaya lainnya. Camkanlah nasihat Umar ibnul Khathtab, “Hitung-hitunglah dirimu sebelum kamu dihisab Allah swt. di hari Perhitungan (akhirat).” (bersambung) http://www.dakwatuna.com/index.php/fiqh-dawah/2007/tarbiyah-dzatiyah-pertama/


Tarbiyah Dzatiyah (Akhir)
Oleh: Mochamad Bugi

2. Al-Fikriyah (Pemikiran)
Pada dasarnya pemikiran manusia senantiasa menuntut konsumsinya agar tidak mengalami kejumudan berpikir. Untuk memenuhi tuntutan tersebut tidaklah cukup mengandalkan muatan pemikiran dari majelis liqaat tarbiyah semata. Akan tetapi dapat mencari berbagai sumber penggalian berpikir. Bisa melalui penelaahan kitab, menghadiri acara kajian ilmiah ataupun kegiatan peningkatan wawasan lainnya.
Telah banyak paparan nash dari Al-Qur’an ataupun Hadits yang menyuruh untuk memberdayakan kemampuan berpikir dengan melakukan pengamatan dan pengkajian. Sehingga pemikiran dai senantiasa dalam pencerahan bahkan ia selalu dapat mencari solusi yang pas. Bila demikian halnya pemikiran aktivis senantiasa berkembang dan menjadi pintu gerbang kemajuan intelektual. Maka, adalah wajib bagi aktivis dakwah untuk membaca buku beberapa jam dalam setiap hari serta memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya sekalipun kecil.
3. Al-Maliyah (Material)
Dakwah juga dipengaruhi oleh kekuatan material. Tidak terkecuali para pengembannya. Karena itu setiap aktivis harus memiliki kemampuan interpreneurshipnya agar tidak menjadi beban orang lain. Ini harus menjadi muwashafat dai. Dai harus memiliki kemampuan mencari penghidupan bagi dirinya (qadirun alal kasabi).
Para sahabat yang diridhai Allah swt. telah memberikan pelajaran pada kita semua bahwa mereka tidak menjadi beban bagi saudara. Kaum Muhajirin yang datang ke Madinah tidak membawa apa-apa, namun mereka tidak mengandalkan bantuan kaum Anshar. Kaum Muhajirin mampu mengembangkan potensi maaliyah dirinya. Mereka pun akhirnya dapat hidup sebagaimana layaknya malah ada yang lebih baik dari kehidupannya di Mekkah.
4. Al-Maidaniyah (Penguasaan Lapangan)
Penguasaan lapangan juga hal sangat penting bagi perkembangan dakwah ini. Seorang aktivis mesti memahami medan yang dihadapinya dengan cepat. Penguasaan lapangan yang cepat dan tangkap dapat memperoleh taktik dan strategi yang tepat untuk dakwah ini. Pengenalannya yang bagus dapat menentukan strategi apa yang cocok dan pas bagi wilayah tersebut. Maka ketika para sahabat berada di tempat yang baru mereka mulai belajar untuk mengenal medan dan lingkungannya. Sehingga perjalanan dakwah mereka berkembang dengan pesat. Seperti dakwah di Madinah oleh Mush’ab bin Umair dan sahabat lainnya.
Dari sinilah setiap aktivis perlu mengenal dengan betul wilayahnya. Sehingga dapat terdeteksi dengan cepat mana yang menjadi peluang dakwah dan mana pula yang menjadi hambatannya. Sehingga ia dapat mensikapinya dari keadaan tersebut. Bila menemui sumbatan ia cepat mengantisipasinya.
5. Al-Harakiyah (Gerakan Dakwah)
Penguasaan harakiyah pun menjadi aspek tarbiyah dzatiyah yang perlu diperhatikan sehingga aktivis dakwah bisa mengikuti lajunya gerakan dakwah. Ini bisa terjadi apabila seorang aktivis dapat menyelami geliat dakwah dan pergerakannya. Pemahaman terhadap gerakan dakwah yang tepat melahirkan sikap dai yang mengerti benar tentang sikap apa yang harus dilakukan untuk kepentingan dakwah.
Sebagaimana yang dilakukan Hudzaifah Ibnul Yaman ketika masuk ke tengah barisan musuh. Saat kondisi malam yang gelap dan mencekam seperti itu, Abu Sufyan sangat khawatir pasukannya diinfiltrasi. Sehingga ia mengumumkan agar seluruh prajurit harus mengenal siapa yang ada di kiri kanannya. Setelah selesai memberikan komando itu Hudzaifah lantas memegang tangan orang yang ada di sisi kanan dan kirinya sambil menanyakan siapa engkau. Tentu saja mereka menjawab saya fulan bin fulan. Dengan kesigapannya Huzaifah tidak ditanya orang.
Sasaran yang hendak dicapai dari tarbiyah dzatiyah bagi seorang aktivis dan perkembangan dakwah adalah sebagai berikut:
Al-Munawaratul Al-Harakiyah (Gerak Manuver Dakwah)
Sasaran tarbiyah dzatiyah ini adalah untuk dapat mengembangkan gerak manuver dakwah ke berbagai wilayah dan pelosok. Sehingga banyak wilayah dan manusia lain yang mendapatkan sentuhan dari dakwah dan dainya. Wilayah dakwah semakin hari semakin meluas dan aktivis dakwahnya semakin hari semakin bertambah tentu juga peningkatan mutu kualitasnya. Dalam kajian Fiqhus Sirah, Syaikh Munir Muhammad Ghadhban diungkapkan bahwa Rasulullah saw. setiap tahun selalu mendapatkan informasi mengenai bertambahnya suku, kabilah atau orang yang tersentuh dakwah Islam dan menjadi pengikutnya yang setia. Ini tentu sangat terkait dengan para penyebar dakwahnya. Mereka adalah manusia-manusia yang selalu dalam kondisi meningkat iman dan taqwanya serta meningkat dalam merespon perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa tarbiyah dzatiyahnya sudah sangat mapan.
Al-Matanah An-Nafsiyah Ad-Dakhiliyah (Soliditas Personal)
Tarbiyah dzatiyah juga untuk meningkatkan daya tahan dai. Aktivis yang tidak lemah mentalnya, tidak jumud pikirannya, tidak menjadi beban material aktivis lainnya, tidak bingung dengan sekitarnya dan tidak pula linglung atau ketinggalan jauh dari lajunya dakwah ini. Aktivis yang tidak menjadi beban bagi dakwah atau membuat bertambahnya beban pemikiran para qiyadah.
Dengan begitu akan muncul aktivis yang tangguh dalam menunaikan amanah dakwah. Aktivis yang prima staminanya dalam menjalankan tugas. Sehingga perjalanan ini semakin lancar dan mulus untuk meniti jalan kemenangan dakwah. Bila hal ini tercapai dakwah tidak disibukkan dengan urusan internal dan konfliknya. Sebaliknya para aktivis akan sibuk dengan maneuver dakwahnya.
Upaya Memulai Tarbiyah Dzatiyah Bagi Aktivis
Untuk dapat menjalankan program tarbiyah dzatiyah hendaknya perlu mempertimbangkan kiat berikut:
Pertama, buatlah fokus sasaran tarbiyah dzatiyah yang akan dilaksanakan oleh masing-masing individu. Misalnya, aspek ruhiyah seperti apa yang diinginkan dengan gambaran dan ukuran yang jelas seperti shalat lima waktu berjamaah di masjid, selalu membaca 1 juz Al-Qur’an dalam setiap hari. Demikian pula aspek fikriyah ataupun aspek yang lainnya. Sehingga semakin teranglah fokus yang hendak dicapai.
Kedua, setelah menentukan fokusnya maka mulailah memperhatikan sisi prioritas amal yang hendak dilakukan. Aspek mana saja yang akan dilakukan dengan segera. Hal ini tentu melihat pertimbangan kebutuhan saat ini. Misalnya aspek ruhiyah yang diprioritaskan, maka buatlah program yang jelas untuk segera dikerjakan.
Ketiga, sesudah itu mulailah melaksanakan dari hal yang ringan dan mudah dari program yang telah ditetapkan agar dapat dilakukan secara berkesinambungan. Keempat, agar dapat menjadi program kegiatan yang jelas, tekadkan untuk memulainya dari saat ini dan berdoalah pada Allah swt. agar dimudahkan dalam menjalankan ikrarnya. Kelima, untuk dapat bertahan terus melakukannya, upayakan untuk memberikan sanksi bila melanggar ketentuan yang telah diikrarkan. http://www.dakwatuna.com/index.php/fiqh-dawah/2007/tarbiyah-dzatiyah-akhir/

Allah Lebih Tahu Bagaimana Menjaga Kita

Tulisan ini hanyalah ungkapan kesyukuran atas sederetan nikmat yang dikaruniakanNya pada saya dan ingin saya bagi rasa syukur ini pada anda. Saya awali dengan doa semoga Allah mengekalkan cahayaNya di hati kita agar bisa menerangi jalan sepanjang sisa hidup kita dengan penuh keberkahan. Sesungguhnya hanya ridhoNya lah yang kita harap menjadi bekal kehidupan di dunia dan akhirat kelak.

“Ya Allah…andai menurutMu aku masih sanggup menjalani kehendakMu dan itu baik bagiku, maka kekalkanlah cahayaMu di hatiku agar aku kuat. Dan andai menurutMu aku tak lagi sanggup menjalani kehendakMu dan itu buruk bagiku, maka akhirkanlah hidupku dalam syahid di jalanMu dengan membawa cahaya keimanan menemuiMu. Sungguh, Engkau tidak pernah membebani seseorang melebihi kesanggupannya. Maka dengan mengingatMu hati menjadi tenang”.

Bersyukurlah kita yang senantiasa dijaga Allah dengan serentetan kejadian dan pengalaman hidup yang membuat kebergantungan kita kepadaNya tumbuh, menyadarkan bashirah (mata hati) kita tentang betapa penyayangnya Allah selalu menghendaki kita untuk berdekatan denganNya, menempatkan kita pada situasi-situasi yang membuat jiwa kita kuat lalu melengkapi kesabaran kita dengan mengganti tiap butir air mata keridhoan dengan ketenangan, mengganti kelapangan hati kita dengan sebuah rumah yang lapang di surgaNya.

Allah lebih tahu bagaimana caranya menangani jiwa kita. Tidak cukup sekali terkadang diulangNya lagi sebuah ujian yang berat. Tak cukup dengan yang mudah kadang ditambahnya kemudahan dengan kesulitan yang terlebih dahulu harus kita lalui. Seolah menegaskan pada kita tentang firmanNya dalam Q.S Al-Insyirah “Bersama kesulitan pasti ada kemudahan”. Beruntunglah kita yang diuji berkali-kali sebab ia menghendaki kita untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Maka bila ujian itu datang, semestinya kita bahagia dan bersyukur bisa menikmatinya kembali. Saatnya bagi kita menguji kualitas jiwa dalam menjalaninya. Adapun hasilnya biarlah menjadi hak Allah memberikannya. Jika diperhatikan, kesulitan apa pun yang kita alami hanyalah tema kecil kehidupan yang sekaligus merupakan sarana Allah untuk menempa diri kita. “Sesungguhnya hanya orang-orang yang sabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas “ (Q.S Az Zumar : 10)

Adalah keniscayaan bahwa jasad akan melangkah indah bila disertai dengan ruh yang matang dan tenang. Sikap kita dalam menghadapi kesulitan akan memberikan kontribusi penting yang menentukan keberhasilan dakwah ini. Sebenarnya tidak penting apa yang kita jalani, tetapi kemudian menjadi penting bagaimana kita menjalaninya.

Di sisi lain, kesulitan adalah juga manifestasi cinta Allah dalam memperindah kualitas keimanan kita. Tanpa kita sadari pertolongan Allah hadir melalui keikhlasan kita menjalaninya. Tidak hanya dalam diri kita tetapi juga tumbuh dimana-mana. Terkadang hanya dengan senyum keikhlasan kita mampu membuka kesadaran orang yang kita temui. Terkadang dengan sepotong kalimat keikhlasan mampu menumbuhkan percik kecil cahaya dalam diri orang lain. Jika pertolongan Allah begitu dekatnya, bukan tidak mungkin jika Allah pun akan memberikan kita jalan keluar terbaik pada ujung perjalanan kita. Sekali lagi, asal kita ridho menjalaninya. Lantas menjadi tidak penting pula berhasil atau tidaknya sebuah usaha kita menggarap proyek apapun di dunia ini, sebab kemenangan hakiki itu hanyalah hak Allah SWT. Apalah artinya sebuah kegagalan bila dibalik kegagalan yang kita ikhlas menerimanya ternyata digantiNya dengan banyak kebaikan dunia akhirat.

Subhanallah…Maha Suci Allah, senantiasa menjaga sebentuk kesadaran dalam diri kita untuk menyertakanNya dalam setiap kejadian. Masyaallah…ternyata setiap luka tidak lagi berasa sakit, setiap kecewa tidak meninggalkan duka, setiap tetes airmata pengharapan ternyata melahirkan sikap ridho, berserah sepenuhnya kepada kehendak Sang Maha Berkehendak.
Susah dimengerti kenapa kesulitan yang kita pandang sulit setelah diserahkan kepada allah ternyata berbuah keberkahan. Tidak pun buat kita, minimal buat orang-orang di sekitar kita. Allah membuka jalan keluar bagi kita lalu Allah pula yang menjaganya.

Maka tidak ada yang perlu kita risaukan dalam hidup ini selain dari jiwa kita sendiri dalam menjaga cahayaNya. Semoga kita senantiasa dijagaNya. Memiliki penerang hati yang mampu menjadi pelita tuk melanjutkan perjalanan menembus keghaiban yang pekat. Mari kita ikhlaskan ketentuanNya dalam hidup ini demi tegaknya agama Allah. Mari kita infaqkan bagian-bagian hidup yang harus kita lalui dengan pengorbanan demi kebesaran namaNya. Dan biarlah Allah yang menentukan takdir kita sebagai bagian dari perjalanan dakwah. Kelak pasti akan berarti sebagai pelajaran indah bagi generasi yang kita tinggalkan bila kita memang harus menemuiNya lebih dulu. Hanya dengan ridho kita bisa mendapati ridhoNya.

Tak tergambarkan tenangnya suasana hati setiap kali menuntaskan kepasrahan pada akhir sujud Qiyamullail. Tak terkatakan kelegaan setiap kali meneguk minuman saat berbuka puasa sembari mengikhlaskan dahaga kita seharian untuk melatih kepekaan dan penerimaan dalam diri. Tak terganti dengan apa pun nikmat iman yang ditanamkanNya dalam hati tiap kali mendapati kesadaran betapa Penyayangnya Allah. Tak terungkap ketenangan jiwa setiap mentadaburi kalamNya. Tak terperi indahnya ketika mendapati ikatan ukhuwah yang melebihi kecintaan apa pun di dunia ini. Seperti dikatakan Anis mata “cinta jiwa” hanya dimengerti oleh mereka yang meletakkan ‘cinta misi” sebagai jalan bersama. Hanya dipahami oleh mereka yang mampu menempatkan itsar sebagai bentuk kebahagiaan dimana kebahagian tergantung dari banyaknya memberi dan bukan banyaknya menerima. Dan proyek besar kita adalah bagaimana menegakkan agamaNya bersama-sama. Jadi persoalan hidup ini bukan tentang gagal dan sukses, bukan pula tentang siapa yang benar dan salah, bahkan bukan pula tentang apa yang kita dapati. Ini tentang level of problem: mereka yang menikmati perjuangan dengan kesyukuran adalah mereka yang siap bergabung dengan tim kafilah keabadian yang telah melampaui batasan emosi kekanakan terlebih yang tersendat dalam problematika dunia. Segala sesuatu telah terintegrasi secara harmonis dalam hati dan jiwa yang lapang…dimana mereka menyadari bahwa pada akhirnya hidup mereka akan berujung di sana…di negeri akhirat…di negeri keabadian…dan apa yang mereka risaukan di sini sebenarnya bisa dilupakan untuk sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih agung. Dan itu adalah gagasan tentang keabadian ini…untuk Allah Yang Maha Kekal.

Kelegaan, pastinya itu yang kita dapati ketika membaca firmanNya “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap istiqomah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak (pula) berduka cita.” (Al-Ahqaf: 13). Allahualam bisshawab. (Rieve)

Bukankah Subuh Itu Sudah DekaT ?

Oleh : Rivana Usgianti, S.Si
Betapa beratnya hidup jika harus ditanggung sendirian. Hampir di setiap detiknya seolah menawarkan peluang dosa dan kesalahan. Kita akan menjadi orang yang merugi ketika tidak tahu bagaimana harus hidup. Maka mutlak bagi kita mengambil tawaranNya bahwa “Allah tempat bergantung segala sesuatu” Q.S. Al Ikhlas : 2.

Kita maklum bahwa kehidupan yang terbatas tapi sarat tanggung jawab ini dipenuhi banyak rintangan yang akan menghalangi kita mencapai sukses di dunia dan akhirat. Tetapi kita pun tahu dan sadar bahwa setiap rintangan itu pasti ada ujungnya. Selagi masih di dunia, insya Allah setiap permasalahan pasti ada penyelesaiannya. Ketika Allah menjamin hal itu, Allah menawarkan solusi berupa perolongan dariNya. Pertolongan yang hanya bisa diraih dengan sabar dan tawakkal. Betapa sempurna cintaNya. Semua kejadian dicipta untuk membuat kita menjadi mulia. Dari yang rapuh menjadi kokoh, dari yang angkuh menjadi lentur, dari yang fakir dikayakan dan dari yang sempit dilapangkan. Tetapi bagaimanapun, semua itu hanya akan disadari oleh mereka yang memiliki bashirah (ketajaman mata hati) dan bashirah hanya bisa dihidupkan dengan senantiasa memperbaharui qalbu agar cahayaNya tetap menjadi pelita.

“Bukankah subuh itu sudah dekat?” Q.S. Huud : 81. Demikianlah Allah menyapa setiap kali kita menjerit di penghujung malam mangadukan duka lara pada sujud-sujud di malam-malam yang panjang penuh keresahan. Sebuah kata kunci yang menjelaskan titik terang pengharapan sudah dekat. Bahwa ada akhir dari hari-hari yang sulit dan panjang yang kita lewati. Akhir yang penuh keberkahan. Sekali lagi kita hanya perlu bersabar sedikit lagi menuntaskan ketaatan, sedikit lagi… dan akan terasa lebih singkat dengan merapatkan kedekatan kita padaNya. Sedikit lagi…dan hanya dengan tetap setia menyerahkan seluruh pengharapan padaNya saja.

Terkadang tidak semua hal yang bisa kita hitung diperhitungkan dan tidak semua hal yang diperhitungkan dapat dihitung. Amat mudah bagi Allah untuk menunjukkan ketentuanNya. Maka bila segala kendali ada di tanganNya kenapa kita mesti merisaukannya? Bukankah sudah ada Allah yang menjamin hidup kita? Jangan sampai kebosanan kita mendahului ajal karena bisa jadi ajal itulah titik akhir yang penuh keberkahan. Bisa jadi ajal adalah pintu keluar yang terang benderang hingga ketika mencapainya kita bisa tersenyum lega dan menatap surgaNya. Setelah keletihan ini sempurna kita jalani. Allahu'alam bisshowab.

My Favourite Film

  • The Message
  • Vertical Limit
  • Turtle can Fly
  • The Kite Runner
  • The Purshuit of Happynes
  • Ie Grand Voyage
  • Sang Murabby

My Favourite Books

  • Tetralogi Laskar Pelangi
  • A Thousand Splendid Suns
  • The Kite Runner

Acara TV Favourite

  • Akhirnya Datang Juga
  • Wisata Kuliner
  • Cinta Fitri, hehehe
  • e-Lifestyle
  • Padamu Negeri
  • Apa Kabar Indonesia
  • Kick Andy
  • Todays Dialogue
  • The nanny 911

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini?