Bertahun-tahun yang lalu, hampir enam tahun yang lalu mungkin ketika kata-kata yang diucapkan seorang teman kos ini mulai merilis rekamannya dalam benakku menjadi memory otak tersendiri yang kemudian menjadi sangat spesial buatku. Masih di Karangmalang Blok A waktu itu dan musim kemarau serta persediaan air di bumi karangmalang seolah amblas meresap-resap ke dasar bumi sehingga air menjadi barang langka yang luar biasa di kosku, bahkan sekedar untuk mandi pun harus migrasi ke masjid kampus.
"Hanya ada dua kata yang opaling indah di dunia ini yaitu maaf dan terimakasih", katanya.
Bertahun-tahun kemudian aku mencoba menyepakati kalimatnya. Menurutku masih banyak kata-kata lain yang tak kalah indah, syukur misalnya. Atau cinta, atau sayang, atau ... atau... dan seterusnya. Tapi pada akhirnya aku memang menyepakatinya. Betapa dua kata yang diucapkannya tadi adalah kata-kata terindah yang pada kenyataannya kubuktikan dalam larik-larik hidupku. Kucatat: tidak banyak orang yang memang mampu mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. Entah mungkin karena sudah terlanjur bersampul kekecewaan, aku kadang bahkan tak mendapatinya. Atau juga mungkin karena terlanjur berbahagia, aku kadang juga tak menemuinya. Rectoverso yang tak melahirkan apa-apa dalam filosofiku. Tapi justru disitu letak harganya, di situ kualitas kemanusiaannya dibuktikan, dan di situlah letak indahnya. Banyak orang merasa bersalah lalu mencari-cari kesalahan rivalnya hingga pada akhirnya kesalahannya hanya menjadi buih di lautan. Hilang tak berbekas, tak menyisakan pelajaran. Banyak juga orang yang diuji dengan keberuntungan, tapi tak menyadari posisinya hingga keberuntungan itu pun tak menyisakan apa-apa. Hanya debu yang beterbangan. Tak ada harganya.
Sejarah. Itu adalah konsekuensi logis dari perjalanan waktu. Mau tidak mau pasti ada yang kita rekam dalam kaleidoskop kehidupan. Sedikit banyak selalu ada yang tak bisa terlupa. Kadang berupa kebahagiaan dan kadangkala juga sebaliknya. Tapi betapa pun heroiknya yang tertulis di sana, tak semua orang juga bisa memahaminya. Seperti rentetan tulisan-tulisan kita juga tak semua orang bisa mengerti maksudnya. Tapi aku yakin selalu ada orang yang mengerti meski hanya satu dua. Cukuplah itu, dan di situlah juga letak harganya bahwa level koneksitas antara setiap orang tidak sama, tergantung pada berapa besar energi yang dikeluarkannya dengan sungguh-sungguh dan bukan pada seberapa sering ia menciptanya.
Maka ketika hari ini aku mengenang kata-kata yang kudengar enam tahun silam itu, itu juga menjadi salah satu titik sejarah bagiku, dimana aku mulai menyadari betapa berartinya sebuah ketulusan. Kata 'maaf', betapapun sering diucapkan tapi akan membuahkan kesalahan yang terulang jika tidak ada ketulusan di dalamnya. Pun dengan 'terimakasih', kadang terlupa menyampaikannya karena memang tidak ada ketulusan saat mendapati momen-momen yang seharusnya menggunakan kata itu.
Banyak orang selalu beralibi bahwa ia lupa lah, buru-buru lah, terlalu lelah lah, banyak pikiran lah dan lain sebagainya. Tapi cobalah lihat kembali, berapa berat sih sekedar mengucapkan 'maaf'? Dan berapa lama sih sekedar mengucapkan 'terimakasih'? Padahal setiap orang yang mendengar kata-kata itu seolah mendapatkan obat yang menyembuhkan banyak hal, bahkan mungkin menelurkan kesadaran. Pada akhirnya aku sadar bahwa setiap orang memang pada dasarnya memiliki sisi egosentris. Tidak terkecuali anda dan juga aku. Maka tak heran jika ada saja orang yang lupa pada orang-orang dekatnya, tapi justru itu juga jalan untuk menemukan siapa sebenarnya orang-orang yang tulus hatinya yang berhak disebut 'saudara' seperti seharusnya seorang saudara.
1 komentar:
satu lagi kata yang sering dilupakan orang : tolong
Posting Komentar