Beberapa tahun belakangan ini, di setiap musim tanam dan musim kering, Riau selalu berhadapan dengan ritual bencana asap, disamping juga bencana banjir dan pencemaran sungai. Bencana ini seolah menjadi hal yang lumrah dan merupakan bagian dari ritme kehidupan yang harus dilalui, meskipun asap yang ditimbulkan oleh pembakaran hutan dan lahan ini menimbulkan kerugian milyaran rupiah setiap tahunnya. Alhasil, Riau pun dinobatkan sebagai salah satu propinsi penghasil asap terbesar di Indonesia. Tetapi anehnya, Pemerintah Daerah tidak juga memberikan respon yang berarti untuk memperbaiki keadaan dan masih saja bergulat dengan permasalahan klasik, seperti kekurangan dana dan peralatan. Inilah realita yang ada di propinsi yang menganggarkan belanja tahunannya senilai dua trilyun rupiah lebih ini.
Meneliti kembali runtutan peristiwa yang berakibat bencana ini, barangkali tidak lah salah bila bencana ini merupakan akibat dari kesalahan terhadap alam ketika pada tahun 1980-an mulai terasa dampak memburuknya kesehatan hutan alam Riau akibat eksploitasi hutan secara besar-besaran. Ratusan hektar hutan dilepaskan kepada pengusaha HPH, disusul politik konversi dengan memberikan peluang yang besar kepada pengusaha sawit dan HTI serta insentif bagi IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) kepada pengusaha perkbunan dan Dana Reboisasi kepada pengusaha HTI. Akhir tahun 1990-an kebutuhan dunia akan CPO (minyak sawit) meningkat pesat. Ditambah ambisi dua industri pulp dan paper menjadi eksportir kertas terbesar di dunia dan dilengkapi dengan keinginan pemerintah Daerah untuk memperluas perkebunan sawit menjadi 1,02 juta hektar dari 2,5 juta yang ditargetkan, sehingga terciptalah simbiosis mutualisme antara pengusaha dan penguasa yang meng-iya-kan pembersihan lahan (land clearing) melalui praktek membakaran hutan yang pada akhirnya meluluhlantakkan seluruh tutupan hutan Alam Riau menjadi sekitar 785 ribu hektar saja pada April 2003.
Secara biologis, pembakaran lahan yang merupakan salah satu cara yang digunakan oleh Perkebunan Besar di Riau memang dapat menaikkan pH tanah menjadi antara 5 -6, sehingga cocok untuk ditanami sawit. Tetapi pada dasarnya land clearing ini menimbulkan kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung. Pembakaran hutan mengakibatkan kerugian ekonomi, erosi karena tanah 20 – 30 kali lebih peka dibandingkan dengan daerah hutan yang tidak terbakar, terjadinya perubahan iklim global, hilangnya habitat satwa dan erosi berbagai bibit benih tumbuhan dan fauna di lantai hutan, mempercepat penghilangan biomassa lantai hutan, mempercepat proses pencucian hara tanah, terjadinya banjir di daerah yang hutan gambutnya terbakar, dan polusi udara serta air.
Kebakaran hutan juga berdampak pada kesuburan tanah. Sifat fisika tanah berubah dengan rusaknya struktur tanah sehingga menurunkan infiltrasi dan perkolasi tanah. Hilangnya tumbuhan juga membuat tanah menjadi terbuka sehingga energi pukulan air hujan tidak lagi tertahan oleh tajuk pepohonan. Pada fisik kimia tanah juga terjadi peningkatan keasaman tanah dan air sungai. Untuk sifat fisik biologi tanah, kebakaran hutan membunuh organisme tanah yang bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan tanah. Makroorganisme, seperti cacing tanah yang dapat meningkatkan aerase tanah dan drainase tanah juga menghilang di samping hilangnya mikroorganisme tanah seperti mikorisa untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, tambang (Cu), magnesium (Mg) dan besi (Fe).
Inilah kesalahan sebagian kita terhadap alam yang merupakan ayat-ayat qauniyah-nya Allah SWT. Padahal telah jelas dikatakan di dalam Alqur’an bahwa kerusakan di muka bumi ini adalah akibat ulah manusia juga. Kita baru kerepotan menyediakan masker ketika musim asap itu tiba. Kita baru sibuk membicarakan penyakit ISPA ketika asap telah menyesakkan dada. Pendidikan mulai mengeluhkan semrawutnya kalender pendidikan ketika sekolah-sekolah diliburkan dengan alasan asap yang membahayakan. Ya, asap seolah menjadi momok yang tidak berujung pangkal.
Sangat disesalkan memang. Undang-undang dan peraturan pemerintah tentang penanganan kasus pembakaran hutan ini bukan tidak ada. Tetapi kesemuanya itu seolah hanya lips servise tanpa ada tindak lanjutnya. Jika pun ada hanyalah produk setengah-setengah yang lantas dilupakan setelah ritual bencana itu berakhir.
Di sinilah kita hari ini, menangguhkan kepercayaan yang rasanya semakin mewah dan mahal. Terus menerus kita membangun kepercayaan sehingga ia menjadi kata kunci. Tetapi, itu pun hanya pemikiran sebagian dari kita yang peduli pada alam, apalagi hedonisme penduduk Riau termasuk Indragiri Hilir seolah turut andil dalam kelalaian untuk menjaga alam ini. Terbungkam materi, bangunan-bangunan kokoh, perkembangan ekonomi dan juga teknologi yang tidak dibarengi dengan landasan keilmuan yang berarti. Tetapi di sisi lain rasa malas untuk memperhatikan alam semakin menjadi, kemerosotan pendidikan yang terkubur tipu daya materi, keegoisan yang mengenyampingkan keadilan dan rasa kasih sayang pada sesama adalah wajah Riau saat ini. Salah satunya ketika penduduk miskin di sekitar areal hutan yang terbakar dan terpencil mengerang kesakitan sekaligus kesulitan, pada saat itu juga jalan-jalan ke luar negeri justru menjadi trend sebagian masyarakat atas. Padahal juga negara yang dikunjungi menodong kita sebagi eksportir asap yang mengganggu kehidupan mereka. Padahal lagi sebagian pengusaha sawit dan juga penadah minyak sawit itu adalah dari negara tetangga. Mengapa kita enggan untuk unjuk peduli memikirkan nasib bumi yang terus mengepulkan asapnya karena tak mampu lagi mengingatkan negeri kita dengan hanya banjir saja.
Mungkin tak kan habis-habisnya bila terus kita korek kepulan asap di Riau ini. Upaya pencegahan, penanggulangan dan pemantauan sudah sepantasnya segera dilakukan oleh semua pihak di Riau. Menjadi pemikiran untuk kita semua, apa yang akan kita lakukan untuk menyelamatkan bumi Riau, agar Allah tak perlu berkali-kali mengingatkan kita karena hanya orang-orang yang lalai lah yang tak mengindahkan peringatan Allah. Allahualam bishowab. (Rieve)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar