Tulisan ini bukanlah epik yang menceritakan tentang heroiknya perjuangan Palestina sebagaimana yang disajikan begitu manis dalam epik dan film dokumenter berjudul serupa ‘Ketika Batu Bicara’. Tulisan ini sebenarnya hanya sebuah cipratan dari sesuatu yang menggelitik hati saya ketika membaca tulisan Izzatul Jannah tentang Vision of Our Life, salah satu cerita dari kumpulan tulisan dalam buku ‘Rumah Penuh Cinta’.
Dikisahkan tentang seuntai awan kecil yang selalu disingkirkan oleh awan-awan besar. Dalam kesedihannya, si awan kecil tadi pun berkelana dari satu daerah ke daerah lain dan setiap kali bertemu dengan awan-awan besar ia tidak pernah bosan menawarkan jasanya untuk bisa mengubah dirinya menjadi hujan sebagaimana awan-awan besar yang kemudian mampu menghijaukan bumi. Akan tetapi tidak sekali pun si awan besar menerima tawarannya dan justru mengatakan padanya
“Ah, dirimu terlalu kecil. Tidak bisa berbuat apa-apa”.
Tetapi si awan kecil tidak berputus asa, hingga tibalah di suatu tempat yang kering kerontang, di atas padang pasir yang lengang, ia pun mengubah dirinya menjadi setetes hujan, hanya setetes dan itu pun jatuh tepat di atas batu.
Singkat kata, setetes hujan tadi ternyata menghebohkan padang pasir yang gersang yang kemudian mengundang gempita hijau dedaunan untuk terus tumbuh, mengundang awan-awan besar untuk turun menjadi hujau di daerah tersebut. Tak seorang pun tahu bagaimana pada awalnya daerah yang gersang itu memulai hijaunya. Hanya batu yang tak pernah mati yang menyimpan rahasia tentang setetes hujau dari awan yang kecil tadi. Dan inilah cerita dari batu itu tatkala daerah itu telah menghijau di kemudian hari.
Saya tertarik sekali dengan cerita sederhana itu. Berkali-kali cerita itu saya baca dan saya renungkan. Ada yang berdentang-dentang dalam dada saya ketika menilik kembali perjalanan hidup hingga detik ini. Menilik ulang tentang sepotong azzam dalam diri yang terkadang mengalami naik turun antara kesadaran tuk berani berarti dan berani berarti untuk kesadaran. Sama sekali berbeda ternyata. Dan benarlah seperti yang dikatakan Izzatul Jannah bahwa setiap orang semestinya memiliki visi hidup dan kemudian memastikan bahwa visi hidup mestilah berakar dari visi yang dititipkan Sang Maha.
Bentang usia manusia nyaris tak menyisakan jeda untuk sempat lalai andai semua kita menyadari betapa tak berdayanya kita menyangga kelalaian kita. Bisa jadi hidup kita pun hanya kumpulan untai awan-awan kecil yang terus menerus tercipta setiap kali ia luruh menjadi setes hujan. Apa yang kita punya sama-sekali tak bisa diandalkan untuk menjadi penjamin masa depan di dunia dan akhirat tanpa adanya keistiqomahan dan kebergantungan yang utuh padaNYA.
Belajar dari jejak lalu. Berkaca pada selarik perjalanan hidup. Membaca ulang fluktuasi keimanan yang mengiringi usia kita hingga detik ini mungkin akan melahirkan selautan kisah dan ibrah. Mari memetik ibrah dari skenarioNya bagi kita. Saat terlahir kita menangis sementara orang-orang tertawa. Saat tangisan kita terhenti sesungguhnya kita telah belajar memilih untuk mengambil resiko melanjutkan kehidupan di dunia. Kita berlepas diri dari sistem sempurna dalam rahim ibunda, belajar untuk memakan yang tak biasa kita makan, belajar untuk menghirup oksigen yang sama sekali berbeda dengan kegelapan dalam rahim. Hari demi hari kita memulai dari nol, dari belajar menggerakkan sebagian anggota tubuh, tengkurap, merangkak, berdiri, tertatih, berjalan, berlari.... Belajar bicara satu demi satu kata lalu melahap kata dan berkata-kata. Belajar bersikap lalu bersikap bijaksana. Panjangnya perjalanan... panjangnya perjuangan... Merengkuh nasib, menyibak gaib di hadapan dengan tuntunan hati. Maka pada apakah selama ini hati kita bertumpu? Apakah kita bisa memilih untuk berhenti dari kehidupan dan kembali ke alam rahim ? Tidak. Sama sekali tidak. Pilihan kita hanya satu yaitu melanjutkan perjalanan hidup sampai perjanjian kita selesai.
Betapa sesungguhnya kita akan sendirian menanggung beban hidup ini, memikul dosa, mengharapkan pertolonganNya dengan ikhtiar yang sempurna. Maka, sudah terlanjur mengambil resiko hidup maka jalani saja hidup sesuai kemampuan seperti yang dikehendakiNya. Apalah daya kita tanpa kekuatanNya. Maka sekali lagi kekuatan hati kita hanya bersumber dariNya. Saat kita menggalinya maka akan kita dapatkan, jika kita mengabaikannya, ya kita akan kehilanganNya.
Sejujurnya, tulisan ini terlontarkan dengan hati rapuh. Tapi kerapuhan itu sedang coba direkatkan dengan bergantung sepenuhnya padaNya. Ketika pemandangan di hadapan begitu pekat dan terasa....”TERNYATA SAYA SENDIRIAN”, kepada siapa bisa disampaikan selain kepadaNya. Mungkin ada begitu banyak orang di sekitar kita yang siap mendengar dan membantu, tetapi terkadang rasa KESENDIRIAN itu tidak bisa dibagi. HATI adalah ruang lain yang tak bisa sepenuhnya diisi oleh orang lain. HATI hanyalah ruang rasa yang berisi beragam rasa. HATI juga yang setia dibawa kemana-mana saat banyak hal yang hilang dari kita.
Seperti kisah seuntai awan kecil tadi. Saat awan-awan besar semakin besar, awan kecil memilih mencari tempat sunyi dan gersang untuk bisa memberi arti dan menjadikan dirinya bermanfaat. Barangkali tak banyak yang bisa diperbuat tapi setidaknya ada arti. Hidup... hanya perjalanan yang berujung. Semua yang ada di dunia pasti memiliki akhir, pasti ada penyelesaian. Hidup hanyalah untaian episode demi episode, perputaran roda kehidupan, pergulatan antara harapan dan keputusasaan. Sekali lagi, hidup adalah perjalanan. Tidak akan terasa sampai pada akhirnya nanti akan ”selesai”. Tugas kita hanyalah sampai usia kita ”berakhir”, selanjutnya biarlah generasi lain yang melanjutkan. Mungkin... generasi itulah yang mesti kita siapkan, mungkin tidak banyak, mungkin juga tak terlahir dari tangan kita, tapi setidaknya ”ada” yang kita usahakan.
(Rieve)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar