Mencoba memaknai hari-hari

Rabu, 23 Januari 2008

Disleksia Pemikiran: Wacana Lunturnya Nilai Islami di Bumi Melayu


Permisivisme Masyarakat VS Kelunturan Akhlak

Miris. Itu yang pertama kali saya rasakan ketika menyaksikan anak-anak usia SMP dan SMA melenggak lenggok di cat walk, berbusana muslimah yang konon katanya syar’I (padahal minus kesopanan), berdandan menor dengan penutup kepala yang ditata sedemikian rupa hingga tampak lekuk leher dan dada. Beratus pasang mata menyaksikan tanpa kedip, sebagian mengabadikannya dalam digital camera atau kaset handycam. Diiringi alunan musik melayu dan berlatar belakang slogan membudayakan pakaian Islami. Seketika mencuat penolakan dalam diri saya mengapa pada prakteknya kegiatan ini sangat-sangat bertentangan dengan promosi dan ketentuan yang dituliskan dalam pemberitahuan perlombaan.
Pakaian longgar dan syar’I, tidak boleh ketat. Tetapi yang tampil justru mengenakan celana jeans dan pakaian seksi. Apakah Islam boleh dimanipulasi? Acara ini dimaksudkan dalam memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Tetapi mengapa backsoundnya adalah lantunan “Buaya Darat” nya Ratu?. Festival Busana Muslim/ Muslimah santai ?. Dalam adab kesantunannya, bukankah tidak pada tempatnya bila wanita berlenggak-lenggok di depan lelaki yang bukan mahramnya?

Duhai, tidak adakah kata yang lebih pantas untuk mengartikan festival ini selain ajang yang membuka pintu-pintu permisivisme masyarakat melayu menuju disleksia pemikiran. Hiruk pikuk teriakan para supporter seolah makin menjauhkan nilai Islami. Bukankah dulunya kita mengenal bumi melayu ini sebagai bumi yang sarat akan nilai agamis dan budaya? Duhai, bila ingin menciptakan generasi muda yang berakhlak mulia, apakah dengan cara membiarkan kemaksiatan bercampur baur dalam prosesnya? Apakah wanita boleh mempertontonkan keindahan tubuhnya di hadapan laki-laki? Apakah wanita boleh mengenakan pakaian ketat yang menampakkan postur tubuhnya? Apakah wanita boleh berdandan menor dan menyanggul rambutnya seperti punuk unta? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan luapan emosional yang tanpa landasan. Pertanyaan ini hanya sebuah pembenaran atas hadist Rasulullah, Suri tauladan ummat yang terjamin kebenarannya. Tidak takutkah kita ketika sabda Rasulullah bergaung di telinga, “Tidak akan masuk surga wanita-wanita yang berpakaian tetapi seperti telanjang, yang menyerupai laki-laki, yang menyangguk rambutnya seperti punuk unta,” Lebih dari itu, bukankah sebuah amal baru akan diterima di sisi Allah ketika niat, cara dan tujuannya adalah benar.

Tanggung jawab siapakah ketika masyarakat tak lagi bisa membedakan mana yang syar’I dan tidak? Tanggung jawab siapakah ketika masyarakat menilai aurat wanita sebagai bagian yang sah untuk diperlihatkan keindahannya? Tanggung jawab siapakah ketika nilai-nilai kemuliaan yang diatur sedemikian sempurna dalam Islam seolah menjadi asing dan aneh? Tanggung jawab siapakah ketika para orang tua bahkan sebagian guru justru berbangga ketika para puteri mereka membuat mata lelaki terbelalak hingga mampu menggetarkan panggung berkarpet merah?. Dimanakah ghirah (perasaan cemburu) terhadap agama sendiri? Ghirah yang semestinya dipupuk agar ukhuwah terjaga, agar kemuliaan Islam tetap terpelihara hingga tak ada intervensi asing yang mampu memecah belah ukhuwah Islamiyah?.

Apakah permisivisme masyarakat atas nilai-nilai yang dulu dipegang erat menjadi pintu awal disleksia social?. Rasanya tidak juga. Sebagian masyarakat memang belum memahami konteks syar’I kesantunan wanita dalam mengaktualisasikan diri. Tetapi mungkin lebih tepatnya masyarakat kita terkesan tidak peduli pada nilai-nilai syar’I itu sendiri. Sebuah kesadaran yang mesti dibangunkan dari tidur panjangnya.

Disleksia. Diambil dari khasanah psikologi, khususnya perkembangan anak, ia merupakan istilah untuk anak-anak usia pendidikan sekolah yang mengalami kesulitan membaca. Seorang anak yang terkena disleksia tidak mampu membedakan huruf-huruf yang hampir sama, misalnya antara “b” dan “d”.

Disleksia dalam kehidupan masyarakat tidak dibatasi pada usia. Ia bisa menyerang siapa saja terutama mereka yang enggan untuk memperdalam pemahaman hingga akhirnya terkesima pada kulit luarnya saja, lalu ditimbun dengan isyu-isyu gender yang belakangan mulai menelusup, lalu dibumbui oleh pandangan media yang notabene adalah lahan paling nyaman untuk menitipkan pemikiran-pemikiran liberal. Melalui media segalanya bisa saja digaungkan. Hingga pemikiran-pemikiran Barat pun dengan mulusnya menginjeksi konsep Islam yang bersih dan mulia. Sampai pada akhirnya kebebasan perempuan menjadi sebuah pemahaman tentang kebebasan yang sebebas-bebasnya, tanpa kendali. Itu pun dibenarkan oleh sebagian kaum muslimin. Sebagian malah menentang kebenaran Islam, menyebut-nyebut bahwa Islam begitu kaku dengan aturannya hanya demi sebuah alibi untuk bisa mengenakan hal yang serupa ditawarkan dunia barat.

Miris, tentu saja. Fenomena yang hari ini kita lihat telah begitu kokohnya memasang label Islami pada produk yang sesungguhnya jauh dari nilai-nilai Islami. Terkenang pada bersahajanya Ibunda Khadijah dalam menjaga kemuliaan diri. Terkenang pada Aisyah ra yang mengisi hari-harinya dengan belajar dan menerapkan nilai-nilai Islami, begitu setianya mengikuti tuntunan Rasulullah, begitu tekunnya mendalami ilmu hingga wajarlah Allah memberikan petunjuk dan penerang. Hingga wajarlah Allah menjaganya dari fitnah dan mengabadikan kisahnya dalam Al-Qur’an.

Lebih sederhana lagi mungkin bila kita telusuri kehidupan Kartini yang hari kelahirannya diperingati setiap tanggal 21 April sebagai hari bersejarah bagi Perempuan Indonesia. Kartini yang berusaha menyampaikan kepeduliannya akan nasib perempuan, yang menularkan pemahaman agamanya kepada mereka yang belum memahami sebagaimana yang dia pahami. Adakah lagi Kartini di masa ini yang memiliki kepedulian setara, setidaknya seirama?.
Barangkali memang bukan menjadi kesalahan siapa-siapa. Masyarakat mencintai budaya melayu sekaligus memeluk agama Islam ini sendiri dengan dekapan yang berbeda. Ada yang membuatnya harmonis hingga terekam indahnya. Ada pula yang membuatnya berbeda jalur. Padahal Islam itu universal dan menyeluruh mencakup seluruh segi kehidupan baik dalam mabda (prinsip hidup), manhaj (system), maupun ghayah (tujuan hidup). Jadi bagaimana bisa disetujui bila ada orang yang berkata “Ah, Islam itukan hanya rutinitas ibadah dan sloga KTP. Biarlah saya hidup dengan cara apa saja yang penting agamanya Islam”, Kalau demikian berarti belum Islam seutuhnya dong, Sist!. Tetapi barangkali juga ada benarnya bila kondisi ini tidak dibiarkan meluncur deras tanpa rambu-rambu. Islam bukanlah agama Liberal. Islam adalah sebuah dien yang sempurna. Karenanya sama sekali tidak pantas kita menodainya dengan pelencengan nilai-nilai Islami itu untuk mempermudah diri yang pada dasarnya adalah anak tangga kesuksesan kaum kafir dalam menelusupkan pemikiran mereka yang berujung pada kesetujuan kita atas konsep Barat yang nyata salahnya.

Keseimbangan Gender yang Salah Kaprah

Mengutip penuturan Izzatul Jannah dalam bukunya “Muslimah Sukses”, Perempuan, dalam lingkup lebih sempitnya adalah muslimah yang beiman dengan benar dan memiliki pengetahuan Islam akan mampu untuk menjadi penggerak dalam memakmurkan bumi. Tidak ada pembatas apa pun. Hal yang dapat menghalangi muslimah dalam berkembang adalah keterbatasan pengetahuan dan kekurangan energi dalam beraktivitas. Akan tetapi bila muslimah telah menemukan sumber energi yang tidak terbatas -iman dan takwa- muslimah akan berjalan tanpa lelah untuk mewujudkan kesejatian muslimah dalam kehidupan. Allah SWT tidak membeda-bedakan lelaki dan perempuan yang harus dianggap lebih rendah dari yang lain. Lelaki dan perempuan berada dalam kerangka penilaian yang setara. Bobot nilai yang diberikan pun sama. Yang berbeda adalah amanahnya. Kita semua kemudian dinilai dengan seberapa baik kita dalam menjalankan amanah kehidupan tersebut. Amanah kemudian datang dan mulai ada perbedaan spesifikasi peran antara laki-laki dn perempuan berdasarkan keadaan fisik dan anugerah fitrahnya yang memang tidak sama.

Pergeseran pemahaman yang dibuat oleh media barat menggunakan sarana ini. Melalui isyu gender dan feminisme ini, perempuan muslimah pun seolah dikompori untuk melejitkan aktualisasi diri tanpa batas. Dari sisi lain keseimbangan gender juga dihentak dengan fitnah infleksibilitas Islam. Akhirnya perlahan-lahan seorang perempuan muslimah dengan keterbatasan pengetahuan dan kekurangan energi –iman dan taqwa-nya pun menganggukkan kepala sembari meng-iyakan suntikan media barat itu sebagai nilai yang benar.
Ada lagi yang menghebohkan. Baru-baru ini sebuah media memberitakan tentang prestasi aktivis feminis Indonesia dalam memperjuangkan nilai-nilai feminisme sampai-sampai diberikan hadiah Nobel. Perfect. Kaum feminis pun makin garang dengan keakuannya. Di sisi lain aktivis-aktivis Islam yang nyata-nyata memperjuangkan agama Islam dengan perilaku hanif, akhlak santun dan ibadah khusyu’ di tentang habis, ditangkapi dan mendapat trade mark “kuno”. Lantas dengan cara apa yang paling pantas membenahi akhlak bangsa ini? Atau memang bangsa ini sudah sedemikian bobrok hingga memborok sampai-sampai Allah menutup nurani kita untuk melihat kebenaran? Naudzubillahimindzalik.

Bertepatan dengan hari Kartini tahun ini, barangkali ada baiknya bila kita bercermin dan menatap bayangan kita sendiri. Adakah di sana terlihat pias bersahajanya kita sebagai perempuan Indonesia yang dulu dikenal dengan kesantunannya? Adakah di sana pias tanggung jawab kita sebagai muslimah yng mestinya menjaga kehormatan diri sebagai hamba Allah sekaligus khalifatu fil’ardh? Adakah di sana guratan lelah yang sudah terukir demi sebuah bukti pembelaan kita ketika agama kita Islam diinjak-injak, atau justru tindakan kita sendiri yang menginjak-injaknya dengan menggadaikan label kemuliaan Islam untuk sebuah hal yang jauh dari nilai syar’i. Sedikit anekdot barangkali bolehlah menyentil nurani kita, “Sebernarnya, kita malas untuk belajar Islam, atau justru kita memang seorang pengecut yang takut kalau-kalau kita sendiri ternyata membaca kesalahan kita yang sedikit banyak ternyata bernama munafik?,” Kita sendiri yang bisa menjawabnya. Allahu’alam bishowab

Tidak ada komentar:

My Favourite Film

  • The Message
  • Vertical Limit
  • Turtle can Fly
  • The Kite Runner
  • The Purshuit of Happynes
  • Ie Grand Voyage
  • Sang Murabby

My Favourite Books

  • Tetralogi Laskar Pelangi
  • A Thousand Splendid Suns
  • The Kite Runner

Acara TV Favourite

  • Akhirnya Datang Juga
  • Wisata Kuliner
  • Cinta Fitri, hehehe
  • e-Lifestyle
  • Padamu Negeri
  • Apa Kabar Indonesia
  • Kick Andy
  • Todays Dialogue
  • The nanny 911

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini?